Mengenal Lebih Dekat Sosok Perjuangan KH. DR. Abun Bunyamin, MA dalam Membangun Al-Muhajirin
Jati Diri Al-Muhajirin Tidak Lepas dari Kiprah KH. DR. Abun Bunyamin, MA
K
etika Redaksi Warta Sund
Onliné, menerima Buku Biografi tentang Hijrah
Yang Mengubah Perjuangan
KH. DR. Abun Bunyamin, MA dalam Membangun Al-Muhajirin dari Humas Al-Muhajirin Kampus 1 yang beralamat di Jalan
Veteran 155, RT.41/RW.05, Nagri Kaler, Kec. Purwakarta, Kabupaten Purwakarta,
Jawa Barat 41115 melalui Deden Saépudin.
Dari buku tersebut menceritakan Perjuangan Pa Kiyai Abun Bunyamin membangun
kepercayaan kepada masyarakat berdirinya Yayasan
Al-Muhajirin. Perjuangannya
dari semasa kecil hingga sekarang dikenal hingga
mancanegara. Itu tidak lepas dari dorongan dan do’a orang tuanya.
Diambil dari buku yang diterbitkan
oleh Taqaddum Pesantren Al-Muhajirin Jl. Veteran Gg. Kenanga II Kebon Kolot Purwakarta, bisa menjadi inspirasi pembaca Warta Sunda Onliné dalam
menyikapi hidup sekarang ini. Dibawah ini auto biorapi pendiri Pesantren Al-Muhajirin.
K
|
Buku ini membuat saya bergetar. Cucuran air mata tidak terasa
menemani saya saat merenungkan dan mengenang kembali isi buku ini. Bukan karena
kata-katanya yang bagus dan indah. Akan tetapi karena semuanya adalah
benar-benar tentang kisah hidup saya. Dari halaman pertama buku tentang
kelahiran saya sampai puluhan tahun kemudian yang direkam pada halaman
terakhir, saya tidak membayangkannya akan seperti ini.
Buku ini benar-benar mengembalikan saya ke masa lalu. Terbayang
jelas wajah Emah dan Abah, dan para guru terutama KH. Ilyas Ruhiyat.
Masih segar diingatan saya, sapaan beliau bila bertemu saat nyantri di
Cipasung dulu, “Min, lagi apa? Dari mana?” Kesantunan yang
selalu tunjukkan kepada saya sebagai santrinya. Pernah suatu hari saya kepergok sedang-sedang
senyum-senyum sendiri di lantai dua gedung PTI (sekarang IAIC), KH. Ilyas
mengagetkan saya, “Ada apa, Min?” Dengan malu saya
menjawab, “Ini Pak, Lulus Ujian PGA 6 Tahun.” Ya, waktu itu
saya menerima pemberitahun lulus ujian PGA 6 tahun dari Sumedang.
Buku ini juga mengingatkan saya akan energy perjuangan yang
dialirkan KH. Khoer Afandi kepada saya. Saya hanya belajar 40 hari di
Manonjaya. Memang tidak lama. Tetapi perjumpaan saya dengan Wa Ajengan itu
memantapkan hati saya. Saya tidak takut menghadapi halangan dan gangguan
apapun, terutama saat itu masa Orde Lama. Doktrin kalimat thoyibah dan wahdaniyat
Allah swt rupanya sedemikian rupa membekas dalam jiwa saya. “Mun
teu diuji, moal gede-gede” begitu pesannya untuk saya waktu itu.
Buku ini membuat saya terbangun di tengah malam dan merenung
sendiri dalam keheningan malam. Saya menerawang kehidupan masa lalu yang bukan
rekayasa. Seakan-akan saya tidak percaya bahwa buku ini adalah tentang
perjalanan hidup saya sendiri. Pahit, sakit, terjepit, DAN terhimpit yang dulu
semasa kecil sempat saya keluhkan, kini terasa indah. Saya belajar kepada
pengalaman diri sendiri yang direkam buku ini, bahwa cita-cita dan optimisme
tidak boleh surut, sebesar ombak kesulitan menggulung perjuangan.
Buku ini bagi saya juga menunjukkan kebenaran janji Allah swt. Ini
pula keyakinan saya yang selalu saya pegang, bahwa Allah swt akan meninggikan
derajat hidup orang yang berilmu. Juga kabar kemuliaan bagi orang berilmu yang
penyebutannya disejajarkan dengan Allah swt dan para malaikat-Nya. Perjalanan
hidup yang Allah swt takdirkan untuk saya membuktikan semua itu.
Kini tersisa pertanyaa dalam batin saya, setelah semua capaian
yang Allah swt anugerahkan ini, apakah anak, cucu, dan murid saya bila dipinta
menjalani hidup seperti saya, mereka akan siap? Saya berharap mereka menjadi
kader terbaik saya. Kepada mereka saya pesankan, bersiaplah menerima ujian dan
harus lulus melaluinya. Hadapi dan tuntaskan ujian itu dengan sempurna. Ingat
kisah Nabi Ibrahim dalam Surat Al-Baqarah.
Sebuah Pengantar
Kata pengantar dari Dr. Hj. Ifa Faizah Rohmah, M.Pd anak Pertama dari Kyai Abun, bahwa Al-Muhajirin berdiri ditengah kondisi ekonomi, politik yang
waktu itu sangat sulit. Namun kesediaan menghadapi keadaan sulit tersebut
membuat Al-Muhajirin tangguh dan tak pernah berhenti berhijrah dari satu
kondisi ke kondisi berikutnya. Bapak sebagai Founding Father telah
menanamkan pondasi yang kuat dalam dakwah Islam sehingga menjadi ruh dalam
setiap aktifitas semua komponen Al-Muhajirin.
Sejauh ini figur Bapak dan Ibu memang mendominasi. Mereka
selalu ingin memberikan yang terbaik bagi
umat sehingga karisma mereka berdua begitu kental bagi masyarakat. Semangat
mengabdi dari Bapak dan Ibu telah terjalarkan. Kini Al-Muhajirin, dengan
meningkatnya kuantitas dan kualitas di dalamnya, semakin mengokohkan kiprah
pembinaan umat.
Buku ini hadir untuk menjawab pertanyaan dari mana
Al-Muhajirin bermula? Jawabannya ternyata adalah kepribadian, impian, keilmuan,
kesulitan dan kegigihan Bapak sepanjang hidupnya. Dalam halaman pengantar ini,
saya tak bisa menahan diri untuk berbagi cerita tentang pengalaman pribadi saya
sebagai putri pertamanya.
Bagi saya, Bapak merupakan sosok yang sangat halus dalam mendidik
putri-putrinya. Saya tak pernah merasa mendapat marah karena sebuah urusan.
Selalu ada kata-kata yang tepat untuk
menegur saya dan kedua adik saya bila salah. Bapak juga sosok guru yang menghantarkan kami ke
gerbang dunia dengan membaca, khususnya Al-Quran.
Bapak juga adalah guru pertama yang mengajari saya Alif, Ba,
Ta, Tsa. Guru pertama yang mengenalkan
Jurumiah, Mutamimah dan Safinah. Sungguh
tidak bisa lepas bagi saya dua peran besar Bapak; sebagai orang tua biologis
sekaligus guru pertama.
Bapak adalah sosok pekerja keras yang selalu berusaha dengan
tangan sendiri, khususnya sebagai kepala keluarga. Waktu saya masuk Gontor
putri, Bapak dengan tangannya sendiri mengangkat koper, dan kardus berisi
buku-buku utk belajar saya disana. Padahal
kalau mau, Bapak sudah punya bujang yang bisa disuruh untuk bisa
mengangkut. Akan tetapi untuk anak sendiri, Bapak lebih senang mengerjakan
dengan tangannya sendiri.
Hal yang sama Bapak lakukan dalam mengurusi bisnis percetakannya.
Bapaklah yang langsung pergi membeli
kertas ke Surabaya dengan membawa segunung kertas. Semua di bawanya sendiri
sambil mampir ke Gontor Putri menengok saya yang lagi mondok. Saya tahu
kemudian, bisnis ini Bapak persiapkan untuk membangun pesantren.
Bapak selalu mengisi celah sekecil apaun untuk bisa berjuang
dan bekerja. Kekuatan dan keteguhannya memegang prinsip begitu jelas saya baca.
Pada masa awal perkembangan Al-Muhajirin, banyak tantangan dari orang orang
yang tidak senang dengan usaha dakwah Bapak. Ruang kelas yang dibakar, tugas
kerja yang dilempar jauh dari kota, ancaman yang menerir, sampai amaliah
pengajian dan khutbah yang diberhentikan. Akan tetapi Bapak menyikapinya dengan
tenang.
Dalam kondisi dakwah yang seperti itu, Bapak tetap
menjalankannya dengan istiqomah. Saya meyakini satu hal, shalat malam dan puasa
sunat Bapaklah gerbang solusi untuk semua kesulitan yang merintangi dan menimpa
Bapak. Bukan hanya sosok yang kuat, cerdas dan terampil, tetapi justru yang
paling menonjol dari Bapak adalah sikap penyabar dan konsistensinya dalam
ibadah.
Kehadiran buku ini yang secara apik mencatat perjalanan
dalam membangun Al-Muhajirin, semoga menjadi motivasi besar bagi saya, adik,
dan cucu Bapak untuk menjaga amanah dan warisan terbesarnya, yakni perjuangan
menghidupkan syiar agama Allah swt, pesantren
Al-Muhajirin ini. Semoga menjadi nasihat pula bagi kami untuk mewarisi
sikap tulus dan istiqomah dalam berjuang dan ibadah.
Lebih dari itu, semoga buku ini menjadi pedoman bagi seluruh
komponen Al-Muhajirin dalam menjaga dan melanjutkan perjuangan Bapak. Jangan
sampai salah arah dan tujuan. Insya Allah, buku ini juga kaya dengan inspirasi
untuk menyemangati kita. Satu di antaranya adalah prinsip yang sering Bapak
ajarkan bahwa sebanyak orang yang kita pikirkan, maka sebanyak itu pula yang
memikirkan kita.
Mengakhiri pengantar ini, saya mengajak semua pembaca untuk
mendo’akan Bapak KH. DR. Abun Bunyamin, MA dan Ibu Hj. Euis Marfu’ah, MA agar
beliau berdua selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Diberikan umur yang
panjang. Dibalas semua pahit dan lelah perjuangannya dengan pahala yang besar
dan surga yang kekal.
Bagian 1
Awal Hijrah
(1954 – 1980)
Nama yang
Hijrah
S
|
emua tahu, waktu
itu, Indonesia yang masih muda amat sibuk luar biasa. Banyak berita ribut-ribut di halaman surat
kabar. Seorang yang disebut tengku kecewa terhadap presiden dan ingin merdeka
di ujung Sumatera sana. Sedikit ke timur di pulau yang sama, petani bentrok
dengan polisi, lima orang mati. Para petani malang menjadi korban gara-gara tak terima
ketika polisi mengusir mereka. Konon, orang-orang komunis membisiki
petani-petani itu untuk bertahan di tanah garapan mereka yang sejak lama
ditinggalkan pemiliknya.
Di Bandung, nama Westerling masih ramai disebut,
setelah empat tahun dia angkat kaki dari Indonesia. Menaiki pesawat Belanda, dia
terbang ke Malaya. Kapten berambut jagung itu dikutuk orang-orang karena
membuat kekacauan di Bandung dan Jakarta. Membunuhi banyak tentara Indonesia
dan penduduk biasa.
Pada waktu yang kurang lebih sama, satu atau dua jam
perjalanan dari Bandung, di sebuah desa yang seolah terlepas dari segala
kekacauan Indonesia belia, seorang ibu berjuang hebat untuk mengantar sebuah
sejarah baru; kelahiran bayinya yang kelima. Tangis bayi laki-laki memecah awal
hari yang belum lagi disambangi matahari. Hari itu, 4 April 1954, Siti Juariyah, sang ibu, melahirkan anak laki-laki yang ketiga
itu tanpa pernah membayangkan, kelak bayi itu akan mengubah banyak hal dalam
catatan kehidupan keluarga besarnya.
Muhammad Mukhtar, suami Siti Juariyah, menamai anaknya
itu dengan nama penuh doa: Muhammad Tamrin. Nama yang hanya berumur beberapa tahun,
karena begitu cukup umur untuk masuk sekolah dasar, Tamrin didaftarkan dengan
nama baru: Ade Bunyamin.
Kelak keisengannya menyingkat nama Ade Bunyamin dengan Abun saat ia remaja, melahirkan
nama baru yang melekat mengiringi warna-warni hijrahnya dalam mewujudkan
lembaga pendidikan Islam terbesar di Purwakarta, Abun Bunyamin.
Ngala Suluh
Ade, sebagaimana anak-anak seusianya di desa, menikmati
masa kecilnya dengan bersahaja namun teramat kaya makna. Di luar kegiatan
belajar di sekolah, waktu bermain Ade lebih banyak ia habiskan di kebun karet
Ciung Wanara. Bersama kakak terdekatnya, Adang Sulaiman, Ade biasa ngala
suluh, mencari kayu bakar di sana.
Berbekal bakul bambu, Ade setia mengumpulkan satu per
satu ranting-ranting yang berserak di tanah, sementara kakak dan teman-temannya
naik ke atas pohon menjatuhkan ranting-ranting kering yang masih tertahan di
dahan-dahan.
Ade berumur sekitar 11 tahun sewaktu keberaniannya sudah
cukup untuk melakukan hal sama seperti yang kakak dan kawan-kawannya kerjakan.
Dia merakit galah khusus untuk menjolok ranting-ranting kering itu. Galah bambu
yang disambung dengan jari-jari roda bekas sepeda. Keduanya direkatkan dengan
getah karet yang mengering. Ade memanjat sendiri pohon-pohon karet yang
menjulang jauh di atas kepalanya. Hampir setiap hari, sepulang sekolah, Ade
mengumpulkan ranting-ranting kering itu setelah sebelumnya merontokkannya dari
dahan-dahan pohon yang ia panjati.
Kesibukan Ade kecil bertambah-tambah setelah orang tuanya
membelikan untuknya enam ekor domba dan seekor sapi. Sejak hari itu, Ade mesti
pintar-pintar membagi waktunya untuk bersekolah, mencari kayu bakar, dan
menggembalakan sapi dan domba-dombanya.
Rumah Dibakar
Tak melulu kisah menyenangkan yang akan selalu Ade ingat
pada masa kanak-kanaknya. Sebuah peristiwa yang kemudian mengubah banyak hal
dalam diri Ade adalah kebakaran besar yang melalap seluruh rumah keluarganya.
Terlalu kebetulan sewaktu ayahnya sedang tidak ada di rumah, api yang tak
diketahui dari mana mulanya itu memberangus seluruh rumah dan isinya, kecuali ibu
dan seluruh saudaranya.
Abah, panggilan Ade kepada Muhammad Mukhtar: ayahnya,
sedang berada di Cimasuk, sebuah daerah di Sumedang, ketika musibah itu
terjadi. Banyak orang percaya, kebakaran itu bukan sebuah kecelakaan semata.
Ada orang-orang tertentu yang sengaja membahayakan keluarga Ade. Setidaknya,
orang-orang itu benar-benar sengaja membakar habis rumah dah harta keluarga Ade
karena rasa tidak suka.
Keluarga Ade pun meneruskan hidup dengan sekadarnya.
Mereka ditampung seorang pemilik pabrik teh merah yang dipanggil Mang Ahim.
Handai taulan dan kenalan yang bersimpati terhadap keluarga Ade lalu memberikan
bantuan sebisa mereka. Termasuk memberikan baju, kain sarung, kopiah, dan
makanan.
Bukan hari-hari yang mudah untuk dilewati, namun Ade dan
keluarganya memahami peristiwa menyusahkan hati itu sekadar tahapan yang harus
dilewati bersama-sama. Meski berat, Abah kemudian memutuskan sesuatu yang oleh
Ade tak pernah ia perkirakan sebelumnya. Keluarga itu memilih untuk berhijrah,
meninggalkan tanah kelahiran dan bertumbuh yang telah didiami selama
bertahun-tahun.
Abah memilih sebuah desa bernama Cibeureum sebagai tempat
keluarganya memulai kehidupan yang baru. Meski merasa sangat sedih dan berat
meninggalkan kampung halaman, keluarga Ade pun memantapkan hati untuk
berpindah. Orang-orang yang selama ini merasa dekat dan terikat hati dengan
keluarga Ade merasa sangat kehilangan dengan kepindahan itu. Mereka bahkan
ramai-ramai mengantar Ade dan keluarganya menuju tempat bermukim yang baru.
Ade kemudian menyesuaikan diri dengan banyak hal baru
setelah kepindahannya itu. Rumah baru, sekolah baru, teman-teman baru, dan nama
yang baru. Ade mendapat nama baru dari salah seorang pamannya. Amin, begitu
pamannya menyebut nama baru Ade.
Berguru Kepada Abah
Cibeureum adalah dunia baru bagi Amin. Banyak hal yang ia
jejak pada masa dewasa bermula dari tempat ini. Termasuk ketertarikannya
terhadap ilmu dan agama benihnya dimulai dari banyak jeda bakda subuh dan
waktu-waktu malam ketika Abah mulai membimbing hafalan Qur’annya dengan tertib.
Abah adalah guru pertamanya.
Amin memulai setoran
hafalan surat Asy
–Syams sampai surat An Nas disambung dengan Yasin, Al
Mulku, dan Al Waqi’ah. Amin pun mulai mendalami kitab kuning. Abah
mengajari Amin Kitab Tijan Ad Darari dalam ilmu tauhid, mulai dari hafalannya hingga maknanya. Kitab-kitab yang
juga diajarkan Abah kepada Amin adalah kitab Jurumiyah dalam ilmu Nahwu,
Safinah dalam Ilmu Fiqih, dan Sullam At-Taufiq dalam Ilmu Tauhid
dan Tasawuf.
Enterpreneur Cilik
Banyak hal berubah pada diri Amin, tetapi tidak pada satu
hal: kemandiriannya. Memahami keadaan keluarganya yang tengah terimpit banyak
kesusahan, dia ingin menjadi bagian dari solusi. Setahun setelah kepindahan
keluarganya ke Cibeureum, sekitar tahun 1966, Abah sakit keras. Ketika itu di
mana-mana kehidupan terasa sangat menjepit pascaperistiwa G 30 S/PKI.
Amin dan teman-teman barunya mencari peluang untuk bisa
mengumpulkan rupiah. Mereka kemudian mengumpulkan daun pisang dan daun tisuk.
Dipotong rapi, ditali dengan jeli, daun-daun itu siap untuk dijual sebagai
bungkus makananan. Amin dan teman-temannya sudah punya pembeli langganan di Pasar Tanjung Sari, pasar terbesar di wilayah itu.
Jika sudah terkumpul cukup banyak daun pisang dan daun
tisuk, Amin berpamitan kepada Abah dan Emah: panggilan Amin kepada ibunya,
untuk menginap di tajug; semacam surau di kampung. Dari tajug, sebelum subuh dia dan teman-temannya berjalan kaki ke
Pasar Tanjung Sari. Pagi-pagi, baru mereka sampai di pasar dan menjualan barang
dagangannya.
Amin memang sembunyi-sembunyi melakukan hal ini. Abah
pasti marah jika tahu anaknya sampai-sampai harus berjualan daun pisang ke
pasar yang jauh agar bisa membantu keperluan dapur Emaknya. Dari
berjualan daun pisang dan daun tisuk itu, setidaknya setiap pulang dari Tanjung
Sari, Amin membawa ikan asin dan terasi untuk Emak. Sebelum pulang
pun, dari hasil berjualan, Amin masih bisa menyisihkan uangnya untuk jajan
lontong sayur dan menabung sisanya.
Amin cukup jauh mendahului anak-anak seusianya dalam hal
usaha. Dia menanam tembakau di lahan subur tak jauh dari rumahnya. Di daerah
bernama Situ Burung itu, Amin menanam setidaknya 150 batang pohon tembakau yang
tumbuh bagus karena dia rawat betul-betul. Ketika panen tiba, hasilnya sangat lumayan. Amin bisa membeli jam tangan yang sangat dia
inginkan dari hasil berjualan daun tembakau.
Menanam tembakau memberi banyak pengetahuan baru bagi
Amin. Termasuk hal-hal apa saja yang dibutuhkan pedagang tembakau dan bisa dia
sediakan. Salah satunya gebog cau, kulit pohon pisang kering. Amin
sengaja mengambil kulit-kulit pohon
pisang lalu
menjemurnya hingga kering betul. Gebog cau itu lalu dijual ke pedagang
tembakau yang memang sangat membutuhkan untuk keperluan dagangannya.
Rumah pun menjadi tempat usaha bagi Amin. Dengan rafia
yang diikat pada paku-paku, bergelantunglah kerupuk-kerupuk teman makan pada
tiang-tiang kayu rumah Amin, setiap hari. Mereka yang membeli kerupuk-kerupuk
itu kebanyakan masih terhitung saudara sendiri. Ada yang membeli kontan, ada pula yang menghutang. Kadang-kadang, Amin membawa
kerupuk dagangannya itu sembari berangkat ke sekolah. Di sepanjang perjalanan,
kerupuk-kerupuk itu habis terjual.
Lama-kelamaan, Amin semakin pintar menangkap peluang
usaha. Ketika dia berkunjung ke Sabagi, tempat tugas salah seorang kakaknya bernama
Ceu Oneng, Amin mendapat ide brilian. Ceu Oneng tinggal di rumah milik ibu-ibu
yang pandai membuat gula merah. Amin memanggil ibu ini Ma Oneh. Dari Ma Oneh,
Amin membeli lima bungkus gula merah dengan dalih sebagai oleh-oleh untuk orang
rumah.
Sampai di kampung, Amin menjual gula merah itu alih-alih sebagai oleh-oleh untuk orang-orang rumah. Tentu
saja Amin menjualnya dengan harga sedikit lebih tinggi dibanding harga beli ke
Ma Oneh. Ludes semua gula merah itu berkat kepiwaian Amin menawarkannya kepada
orang-orang.
Ketika Amin menceritakan kesuksesan pertamanya kepada Ceu
Oneng, kakaknya itu gembira sekaligus bangga terhadap adiknya. Ceu Oneng lantas
menambah modal dagang Amin. Pada kunjungan berikutnya ke Sabagi, Amin membeli
gula merah dari Ma Oneh dua kali lipat. Sepuluh bungkus gula merah ia bawa
pulang dan mulai dijual. Dari Ma Oneh, Amin membeli per bungkusnya dengan harga
Rp. 15 dan menjualnya Rp. 20. Jadi, dari
setiap bungkus gula merah, Amin mendapat keuntungan Rp. 5.
Seperti hendak memanfaatkan semua tenaga yang ada pada
dirinya, Amin benar-benar pintar melihat peluang. Pada tahun-tahun itu, di
Cibeureum ada penjual keliling yang datang dari Bandung. Dagangan berupa
piring, gelas, payung sampai baju-baju dijual berkeliling kampung dalam
pikulan. Dua pedagang yang paling terkenal adalah Ayi Atih dan Ayi Syahrudin.
Amin kecil lagi-lagi membacanya sebagai peluang usaha.
Dia menawarkan diri kepada Ayi Atih dan Ayi Syahrudin untuk memikul dagangan
itu berkeliling kampung. Sebagai upahnya, Amin diberi beberapa rupiah. Uang
yang terkumpul cukup bagi Amin untuk membayar uang sekolah dan jajan.
Kebiasaan Amin mencari kayu bakar dan menggembala kambing
masih dia lakukan hingga saat itu. Lebih terkenang-kenang soal mencari kayu
bakar karena kali ini, Amin tidak hanya mengumpulkannya dari kebun karet. Amin
dan seorang kenalan bernama Ayi Udin sampai mendaki Gunung Manglayang guna
mengumpulkan kayu kering. Karena letaknya jauh, Amin biasa berangkat pada dini
hari dari rumahnya.
Suasana masih sangat gelap dan senyap sewaktu Amin dan
Ayi Udin mulai memasuki hutan di kaki Gunung Manglayang. Terus naik ke gunung
dan mengumpulkan kayu-kayu kering yang pada dini hari begitu masih terbungkus
embun lembap. Shalat subuh biasa Amin lakukan di tengah hutan sembari bergelung
sarung. Pagi hari, ia mengisi perutnya
dengan nasi bungkus yang ia bekal dari rumah.
Berburu Ilmu ke Majalengka
Pada tahun 1968, cerita seru tentang hari-hari Amin
dengan segala usahanya yang gigih terjeda. Tahun itu, usia Amin genap 14 tahun. Amin dikirim Abah untuk meneruskan sekolah di
Majalengka. Pak Syukur, kepala sekolah tempat Amin meneruskan pendidikannya
memutuskan agar Amin dimasukkan ke kelas empat. Namun, dari hasil evaluasi para
guru, rupa-rupanya Amin terlalu pintar untuk duduk di kelas empat. Dalam
sehari, oleh gurunya, Amin dinaikkan ke kelas lima. Lagi-lagi, guru yang
mengajar Amin di kelas lima menganggap Amin tak pantas duduk di kelas lima
karena semua pelajaran di kelas itu sudah dia kuasai.
Akhirnya, oleh gurunya di kelas lima, Amin dinaikkan ke
kelas enam. Amin sendiri meyakini dirinya mempunya pengetahuan yang lebih dari
cukup untuk duduk di kelas barunya itu. Dengan keyakinan yang bulat, juga bekal
bacaan surat Yasin yang dipesan Abah, Amin kemudian menghadap kepala sekolah
untuk mengutarakan keinginannya. Amin mengajukan diri agar diterima di Sekolah
Guru Islam. Sebuah lompatan yang sangat jauh dibanding saat kali pertama Amin
masuk ke sekolah itu.
Mempertimbangkan kemampuan Amin, kepala sekolah akhirnya menerima pengajuan Amin. Dimulailah babak
baru kehidupan Amin. Ketika menjadi murid sekolah guru, Amin memiliki dua
sahabat karib, Ujang dan Syamsudin. Keduanya berasal dari Pasir Kunci, Ujung
Berung, Bandung.
Kedua kawannya itu tinggal di rumah kos yang cukup
memadai. Biaya tinggal di kos pada waktu itu seharga Rp1.500 dan 20 liter beras
per bulan. Bagi Amin, biaya itu terlalu besar untuk ditanggung. Oleh karena
itu, dia bertekad mencari tempat tinggal yang lebih murah. Sambil menenteng
koper besi yang dia cat sendiri dengan warna hijau, Amin mencari-cari tempat
tinggal sesuai kebutuhannya.
Pada akhirnya, Amin memilih tinggal di asrama Persatuan Umat
Islam (PUI) supaya bisa menekan pengeluaran.
Bahkan, untuk keperluan makan, Amin tidak membeli di luar. Dia memasak sendiri
makanannya sehari-hari. Sejak saat itu, setiap malam, Amin belajar ilmu agama
kepada KH Abdul Wahab. Secara mandiri, dia juga mempelajari sendiri Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf,
dan kitab Fathul Qarib.
Amin mengisi waktunya selama dua tahun di Sekolah Guru
Islam (SGI) PUI Majalengka dengan berbagai kegiatan keilmuan. Setelah itu, dia
pindah ke pesantren Hidayatul Muta’allimin, pimpinan K.H. Abdurrahman atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Edun.
Amin berguru juga kepada K.Syakur, K.H. Yasin Basyuni dengan deretan kitab yang
dipelajari antara lain Al-Amtsilah At-Tashrifiyah, Ta'limul Muta'alim, Fathul
Qarib, Kifayatul Awam, Fathul mu'in, dan lain sebagainya.
Selama di Majalengka, Amin terlibat dalam organisasi
Pelajar Islam Indonesia (PII). Di sana, Amin dipercaya menjadi seksi koperasi.
Bakat dagang Amin kembali terasah pada waktu-waktu ini. Dia lagi-lagi ke luar
masuk hutan untuk mencari kayu bakar dan buah-buahan. Sampai-sampai, Amin
mendaki Gunung Margatapa untuk memenuhi kebutuhan itu.
Dia juga kembali berjualan berbagai kebutuhan sehari-hari
dengan konsumen teman-temannya seasrama. Salah satu barang dagangannya adalah
minyak tanah. Sedangkan jika kesempatan pulang datang, Amin berbelanja kecap di
Majalengka dan dijualnya di kampung halaman.
Hari-hari penuh prihatin itu Amin alami selama beberapa tahun. Setiap hari dia mencukupkan kebutuhan perutnya dengan
nasi berlauk ikan asin, kecap, dan toge. Jika ada uang lebih dari hasil
berdagang, baik-baik dia simpan. Setelah terkumpul, uang itu ia belanjakan
untuk membeli sarung, baju, atau kitab. Jika sedang benar-benar tidak memiliki
uang, Amin mesti menahan diri untuk tidak melakukan pengeluaran sama sekali.
Suatu kali, Amin pernah pulang ke Sumedang dengan menumpang truk pengangkut
beras menuju Bandung. Amin diturunkan di tengah jalan, di kawasan Citali,
tengah malam.
Dari Citali, Amin berjalan kaki menuju Cibeureum melewati
persawahan, rumah penduduk, hingga kuburan. Tidak langsung ke rumah, Amin
kemudian mampir di tajuk dan tidur di sana. Subuh-subuh, Abah yang biasa shalat
di tajuk membangunkan Amin, mengajaknya shalat berjamaah sebelum pulang
bersama-sama.
Di asrama sendiri, hari-hari Amin tidak selalu berjalan
tenang dan menyenangkan. Kejahilan teman-teman seasrama kadang sudah sangat
keterlaluan. Tanpa alasan pasti, seringkali Amin diganggu dengan kelakuan yang
tidak pantas. Beberapa kali, ketika sedang menghafal isi kitab Alfiyah Ibnu Malik di kamar, aliran listrik diputus dari
luar. Dalam gelap, tentu Amin tidak bisa meneruskan kegiatannya.
Masakan Amin tak luput dari keisengan teman-teman satu
asramanya. Ada waktunya, nasi liwet yang sedang ia tanak ditaburi pasir oleh
mereka. Keisengan yang tidak jelas di mana letak kelucuannya. Lama kelamaan,
Amin merasa tak lagi bisa memberi toleransi dengan serangan-serangan semacam
itu.
Ke Bandung
Suatu pagi, selepas shalat subuh, sewaktu usianya mendekati
18 tahun, Amin kabur dari asrama di
pesantren Hidayatul Muhtadin pulang ke Sumedang. Kepada Abah, Amin minta dipindahkan ke pesantren lain
karena sudah tidak tahan dengan perlakukan buruk teman-teman seasramanya. Abah
lalu memindahkan Amin ke Pesantren Sukamiskin, Bandung.
Dua tahun belajar agama di Majalengka hingga kelas III
SLTP, Amin melanjutkan tahapan hidupnya di Bandung. Tujuan hijrahnya ke Bandung saat itu ingin langsung mengikuti ujian
Pendidikan Guru
Agama (PGA) di Cicaheum.
Sambil menunggu waktu ujian tiba, Amin ikut belajar di PGA Kifayatul Akhyar,
Cipadung, Bandung. Masa belajar yang normalnya ditempuh dalam 6 tahun, Amin
justru merampungkannya hanya dalam tempo 4 bulan. Usai masa itu, Amin lalu
hijrah ke Cicalengka.
Amin tinggal di rumah Ayi Endang di kawasan Andir, Ujung
Berung selama tiga bulan. Keinginan
belajar dalam diri Amin tak ada habisnya. Setiap Ramadhan, Amin berangkat ke
Cicalengka, Bandung Selatan. Di sana dia mengikuti pesantren kilat di Pesantren
Al Falah asuhan KH Amad Syahid. Masih di Cicalengka, Amin memenuhi kehausannya
akan ilmu dengan belajar Al Qur’an ke Pesantren Kebon Kapas pimpinan KH. Amin.
Pendidikan Amin kemudian berlanjut ke kelas IV PGA. Selama belajar di PGA Cicaheum, Amin
mulai mempelajari ilmu-ilmu mantiq yang membuat wawasan keilmuannya kian
luas dan berimbang. Setiap lepas tengah malam, dia belajar ilmu logika itu
dengan rujukan kitab Idhahul Mubham langsung dengan Mama Ajengan Adi,
pengasuh Pondok Pesantren Sukamiskin. Selain ilmu mantiq, Amin juga mempelajari ilmu Fiqih dari kitab Fathul Qarib kepada Ajengan Yahya. Mulai saat itu, Amin juga mulai mengajar
anak-anak yang belajar di madrasah pesantren sebagai pengganti Kang Enting yang
biasa mengasuh anak-anak tersebut.
Kehidupan sehari-hari Amin di Pesantren Sukamiskin tak
beda jauh dengan keadaannya di Majalengka. Amin mesti pandai-pandai mengatur
keuangan dan kebutuhan hidupnya. Setiap pergi ke PGA Cicaheum dari pesantren,
Amin mesti berjalan kaki. Untuk makan sehari-hari pun, Amin meski memutar otak
agar dia bisa bertahan. Abah di kampung memang harus bekerja keras untuk bisa
memenuhi kebutuhan Amin di perantauan. Sebab, pada saat yang sama, Abah harus membiayai
kakak Amin; Adang, yang sedang belajar di Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Saking beratnya keadaan saat itu, Abah pernah mengirimi
Amin beras hijau yang belum siap panen. Padi itu dipanen sebelum waktunya kemudian
dikukus dan dijemur. Setelah kering baru ditumbuk. Beras inilah yang dikirim Abah untuk makan
Amin sehari-hari. Tak jarang, selama tiga bulan tinggal di Sukamiskin, Amin
sering mengalami sakit lambung karena perutnya sering kosong atau ia isi dengan
makanan keras sedangkan sebelumnya dalam keadaan kosong.
Keadaan yang tak kunjung membaik itu kemudian menjadi
alasan Amin untuk kembali berpindah tempat belajar. Amin pergi dari Sukamiskin
ke Santiong untuk belajar di pesantren Al-Hidayah yang
dipimpin Mama Ajengan Emed. Di sana, Amin belajar kitab Riyadl Ash-
Shalihin dan Fathul Mu’in.
Pada waktu itu, keadaan Amin, terutama yang berhubungan
dengan kebutuhan makannya terpenuhi dengan baik. Karena letak pesantren ini tak jauh dari
rumah Ceu Oneng, makan sehari-hari Amin ditanggung kakak perempuannya itu. Jika
sekali waktu Amin sangat ingin jajan, dia menukar beras dari dapur Ceu Oneng
dengan jajanan warung.
Ngaji ke
Garut
Pada Oktober 1973, sewaktu usianya telah lewat 19 tahun,
Amin memutuskan melanjutkan belajar agamanya ke Garut. Tepatnya di Pesantren
Riyadhlul Alfiyah, Sadang, Wanaraja, Garut. Dia berangkat dengan bek al 15 liter beras.
Agar bekal tersebut cukup untuk menutup kebutuhan selama satu bulan, Amin lalu
menitipkannya kepada pemilik warung di dekat pesantren.
Setiap hari, Amin mengambil “titipan” nya itu dalam
bentuk sepiring nasi, sambel, tempe,
ikan asin, dan sayur. Hanya sekali sehari. Repot sekali ketika masa “penitipan”
selama satu bulan telah lewat, tetapi
Amin belum juga
punya bekal untuk lanjut ke bulan setelahnya.
Kiriman dari Abah memang tidak akan pernah datang jika
saja Amin tak pernah memberitahukan kepindahannya ke Garut. Ketika berangkat
dari Bandung dan memutuskan melanjutkan belajarnya ke Garut, Amin tidak
mengabari Abah sama sekali. Itulah mengapa tak ada kiriman dari kampung pada
bulan kedua setelah Amin tinggal di Garut.
Begitu tahu Amin sudah tidak lagi di Bandung, Abah sangat
kaget dan keheranan. Pada akhirnya, Abah memahami keputusan
Amin dan mendukungnya. Untuk kebutuhan bulan kedua Amin di Garut, Abah akhirnya
mengirimi Amin 15 liter beras dan sedikit ongkos.
Meski sekadarnya, Amin bersyukur dengan keadaan itu dan
menikmati hari-harinya di Garut. Karena waktu itu bertepatan dengan
Ramadhan, tak seperti keluarga Muslim
kebanyakan yang berbuka dengan macam-macam makanan, Amin mencukupkan dirinya
dengan menu air putih untuk membatalkan puasanya. Baru pada tengah malam, usai
pengajian Alfiyah, dia bisa makan nasi yang dilanjut dengan sahur air putih
atau kadang sama sekali tidak sahur.
Keadaan ini membuat fisik Amin sangat kurus. Jika ia
melilitkan handuk besar di pinggangnya, itu tidak cukup untuk menahan celananya
agar tidak melorot sakit kecil badannya. Namun, keadaan itu
tidak membuat kecerdasan Amin berkurang. Dia tetap menjalani tahapan belajarnya
dengan semangat. Dia mempelajari rujukan tertinggi dalam ilmu nahwu yakni Alfiyah
Ibnu Malik dengan baik. Amin mempelajarinya hanya dalam waktu
tiga bulan melalui metode pasaran. Semacam semester pendek di bangku kuliah.
Melambung di Cipasung
Terus menerus menggali ilmu agama, Amin seperti selalu
kehausan mencari sumber-sumber baru. Pada tahun yang sama dengan kedatangannya
ke Garut, Amin lalu pindah lagi ke Tasikmalaya. Seorang teman bernama Asep
Jamaludin yang dikenal Amin di pesantren Garut membantu Amin saat mendaftar di
pesantren baru yang terletak di Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya itu. Amin
kemudian tinggal sekamar dan sekelas dengan Asep. Untuk makan, keduanya
memenuhi kebutuhan masing-masing. Amin biasa membagi jatah sarapannya menjadi
dua. Dimakan pagi setengah, sisanya untuk sore, ketika nasinya sudah dingin dan
keras.
Selama empat tahun di Cipasung, Amin belajar langsung
kepada Kiai Ilyas Ruhiyat, pemimpin pesantren tersebut. Amin mendalami Jam’ul
Jawami’ dalam bidang ushul fiqih sampai dua kali khatam. Di tempat
yang sama, Amin menamatkan pembelajaran Mughni Labib dalam bidang
Nahwu dan Sharaf, Jauhar Maknun dan Uqudul Juman dalam
bidang ilmu balaghah, juga Syu’abul Iman dalam bidang tauhid. Minhatul Mughits dalam bidang ilmu
Hadits, Fathul Wahhab dalam bidang fiqih, Rohbiyah dalam bidang
ilmu waris, dan kitab kajian lain seperti Al-Luma’, Bulugul Marom,
hingga Kifayatul Akhyar pun ia pelajari.
Kuliah tanpa Ijazah SLTA
Totalitas Amin dalam mempelajari berbagai ilmu di
pesantren-pesantren sebelumnya berbuah manis. Kiai Ilyas menganggap
Amin telah layak belajar di tingkat universitas meskipun ia belum memiliki
ijazah SLTA. Amin diterima di Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Ilmu Agama Cipasung
tingkat satu setelah lulus tes saringan masuk. Agar proses
belajarnya di perguruan tinggi didukung dokumen formal, Amin pun mengikuti
ujian persamaan di PGAN selama
6 tahun di Sumedang.
Tak berapa lama kemudian, kehidupan Amin mulai beranjak
membaik. Di Asrama Pusaka
Pesantren Cipasung, Amin terpilih
menjadi rais atau ketua. Posisi barunya ini cukup membantu Amin untuk
setidaknya bisa makan cukup setiap hari. Sebab, dia mendapat kemudahan dari ibu
kos yang merasa terbantu karena Amin mendaftarkan banyak santri baru untuk
makan di Ibu Kos. Setahun kemudian, “jabatan” Amin kian mantap. Dia terpilih menjadi seksi
mubalighin tingkat Rais Am yang meliputi seluruh asrama di
Pondok Pesantren Cipasung.
Sarjana Muda
Setelah melewati masa empat tahun belajar di Pesantren
Cipasung, Amin kemudian mengikuti Ujian Negara tingkat sarjana muda dan
langsung lulus. Amin mengambil
kesempatan emas itu dengan melanjutkan studinya ke IAIN Sunan Gunung Jati di Bandung tanpa
tes. Keputusan ini harus digadai
dengan cita-cita Amin
sebelumnya yang sangat ingin melanjutkan pendidikannya di Al Azhar, Mesir.
Mempertanggungjawabkan Risalah Sarjana Muda dengan Judul “Sistem Pendidikan Salaf di Pondok Pesantren Sindang Sari Cileunyi”
Lulus Sarjana
Muda meski masuk kuliah dengan Ijazah PGA yang tertunda
Meski batal pergi ke Negeri Piramid, Mesir, Amin telah melakukan pilihan yang tepat. Amin kemudian berpamitan kepada semua orang yang selama bertahun-tahun menyokongnya dengan doa, semangat dan motivasi, termasuk Kiyai Ilyas dan guru-guru lain di Pesantren Cipasung.
Sebelum pergi ke
Bandung, Amin menyempatkan diri pulang ke Sumedang untuk pamit kepada orang tua
dan keluarganya.
“Abah, Emah
dan Keluarga yang sangat berjasa bagiku”
Abah Cipasung membekali Amin dengan pesan yang tak pernah
dia lupakan: shalat di awal waktu, membaca Al Fatihah untuk Abah, dan membaca
Al Qur’an 50 ayat setiap hari, agar ilmu yang dipelajari manfaat dan penuh
berkah.
Sementara
dari K.H. Ilyas Ruhiyat penerus Abah, menitipkan pesan ini, “Di mana urang
mukim, kade Min titip NU (Bila nanti mukim, membuka pesantren, ingat Min titip
NU)” . Pesan ini kelak terus terngiang dalam telingan Amin sampai puluhan
tahun setelahnya menjadi Rais ‘Am PCNU Kabupaten Purwakarta.
“Di mana
urang mukim, kade Min titip NU (Bila nanti mukim, membuka pesantren, ingat Min
titip NU)” Pesan KH. Ilyas Ruhiyat untuk Amin
Kuliah di Bandung
Amin mengawali kuliah di IAIN Bandung sebagai mahasiswa
semester IV jurusan Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Tarbiyah. Amin
menumpang di rumah Eteh Haji di Cinunuk, tak jauh dari kampus. Setiap hari,
Amin bangun sebelum shalat Subuh untuk menyapu dan mengepel seluruh rumah.
Selama enam bulan Amin menjalani keseharian itu. Sampai kemudian, Amin pindah
ke sebuah kamar di atas madrasah milik Mang Empud di samping SPBU Cinunuk.
Waktu itu, Amin mulai rutin mengajar di Tsanawiyah
Kifayatul Akhyar, Cipadung dan di PGA Ma’arif, Cicalengka, Bandung. Selain sebagai media pengikat ilmu,
kegiatan mengajar ini membantu Amin untuk menutup kebutuhannya sehari-hari dan
kuliah. Amin juga mulai bisa mengirim uang ke kampung untuk membantu biaya
sekolah Ecep, adiknya yang bersekolah SMA Cipasung. Dia juga mengikuti arisan yang akan sangat membantu urusan pernikahannya setahun
kemudian.
Selama kuliah di Bandung, Amin aktif dalam organisasi
Ikatan Pemuda Nahdatul Ulama (IPNU) Kabupaten Sumedang. Melalui aktivitas
keorganisasin ini pula Amin bersahabat karib dengan Akun Masykur, putra bungsu
ulama besar yang kharimatik dari Sumedang, K.H. Muhammad Syatibi. Dia juga
menjadi aktivis Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat sebagai sekretaris bidang
Kebudayaan. Keilmuwan Amin mulai dipercayai
masyarakat secara luas. Setiap shalat Jumat, dia menjadi khatib di masjid Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dan Seskoad.
Ke Purwakarta
Perjalanan Amin menuju titik lompatan besar dalam
hidupnya dimulai ketika dia berkunjung ke Purwakarta dua bulan sebelum
pernikahannya. Amin datang ke Purwakarta untuk bersilaturrahim dengan K.H. Ubaidillah Alawi, ayah dari Euis Marfu’ah yang
kemudian menjadi istrinya. Kedatangannya diterima langsung K.H. Alawi yang akrab ia panggil Abah Alawi.
Kunjungan istimewa itu oleh Abah Alawi dianggap sebagai khitbah karena rupanya
tak ada keraguan mengenai kualitas dan kesungguhan sang calon mantu. Padahal,
Amin bahkan belum merampungkan kuliah S1 nya karena masih menunggu ujian akhir
dan skripsi.
Dua bulan setelah kunjungan istimewa itu, Amin
menyempurnakan niatnya dengan memboyong Abah, Emah, dan Ceu Oneng dari Sumedang.
Mengira hanya akan ada pertemuan dua keluarga, Amin dan keluarganya kaget bukan
main ketika tahu keluarga Abah Alawi sudah menyiapkan sebuah syukuran
pernikahan. Amin pun kemudian ditanyai oleh Abah mengenai kesiapan dan
kesanggupannya untuk menikah. Karena anak laki-lakinya itu menyatakan
kesanggupannya, akad nikah antara Amin yang kemudian dipanggil Abun Bunyamin
dengan Euis Marfu’ah pun disahkan. Tepatnya tanggal 9 Desember 1978, Amin
melamar gadis pilihannya
itu dengan mas kawin
kalung emas sepuluh gram yang ia beli dari hasil arisan.
Sungkem kepada Abah dan Emah, saat pernikahan dengan Euis
Marfu’ah tahun 1978
Nama Abun di depan Bunyamin sendiri merupakan jejak
kreatif Amin di masa remajanya. Belasan tahun setelah masa kanak-kanaknya
terlewati, seperti halnya kebanyakan remaja yang tengah mereka-reka identitas
dirinya, Ade Bunyamin pun mengalami hal yang sama. Bermula dari keisengan
belaka, Ade menambahkan nama Abun di depan namanya. Kependekan dari nama
lengkapnya: Ade Bunyamin. Kelak, nama
Abun Bunyamin kemudian jauh lebih dikenal luas dibanding nama-nama sebelumnya.
Ijab kabul pada hari istimewa itu dilaksanakan dengan
bahasa Arab. Amin tak repot memikirkan mas kawin, karena sebelumnya dia telah
menitipkan kalung emas sepuluh kilogram kepada Euis begitu mendapat uang
arisan. Tak heran jika Abah Alawi merasa yakin pada kesungguhan Amin dan
menginginkan pernikahan bisa segera disahkan.
Sampai pernikahannya, Amin belum berpindah ke Purwakarta
oleh karena kuliahnya yang belum selesai jugak aktivitas lain yang masih harus
dia selesaikan di Bandung. Sebagai gantinya, Amin secara rutin pulang ke
Purwakarta sebulan sekali. Namun, meski secara kuantitas tak terlalu sering
bertemu, sebuah semangat telah menular dari Abah Alawi kepada Amin: semangat
untuk melahirkan sebuah pesantren.
Sejak kali pertama bertemu disambung dengan pertemuan
bulanan itu, Amin terus menerima transfer semangat dan cita-cita Abah Alawi
untuk mewujudkan cita-cita lamanya. Abah Alawi pernah memimpin sebuah pesantren
di Samoga, Cisalak, Subang sebelum tahun 60-an. Pesantren itu musnah dibakar
oleh gerombolan misterius.
Sejak saat itu, Abah Alawi terus memelihara mimpi dan
hasrat besarnya untuk menghidupkan kembali tradisi pesantren yang pernah ia
mulai. Bertemu dengan pemuda Amin membuat semangat itu kembali menyala. Ketika akhirnya Amin lulus ujian skripsi,
Abah Alawi menyampaikan nasihat yang kemudian menjadi penyemangat bagi Amin
untuk benar-benar menuntaskan cita-cita Abah Alawi. “Sekarang, kita
bersyukur telah diberi gelar oleh manusia, tinggal gelar dari Allah yang baik
yang harus didapatkan. Abah sangat mendoakan kalian,” ujar Abah Alawi pada
syukuran kelulusan Amin ketika itu.
Setahun setelah pernikahannya, Amin diterima sebagai
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Agama dan ditugaskan di Sekolah Tehnik
Menengah (STM) Negeri Purwarkata. Gayung bersambut. Penugasan tersebut sangat
cocok dengan agenda hidup Amin setelahnya. Dia pun sempurna berhijrah ke Purwakarta.
Bekerja untuk negara sekaligus mempersiapkan cita-cita besarnya, sebuah pesantren.
Bagian 2
Kekuatan Do’a
Multazam
(1980 – 1995)
Percetakan
Cita-Cita
Tahun 1980, Amin
mengontrak sebuah rumah di Gang Beringin, Purwakarta. Kontrakan yang sederhana.
Ranjang tanpa kasur, bangku, lemari bekas kuliah, gelas, piring, kado dari
mereka yang menghadiri syukuran pernikahan Amin dibawa ke kontrakan baru itu.
Termasuk selembar sarung samarinda pemberian Abah Alawi yang menjadi
kenang-kenangan bagi Amin. Pada
bulan Mei di tahun itu, putri pertamanya
lahir di sana dalam segala
kebersahajaan. Amin lalu menamainya
Ifa.
Ketika putri pertama Amin dan Euis telah hampir berumur
satu tahun, keadaan ekonomi pasangan muda ini mulai membaik. Amin mulai mampu
membeli bata, batu, dan kayu. Semua dikumpulkan sedikit-sedikit untuk membangun
sebuah rumah sederhana di samping rumah Abah Alawi di Kebon Kolot, Purwakarta.
Menyusul putri pertama mereka, tahun 1981 lahir putri
kedua pasangan pejuang
pendidikan ini dan diberi
nama Zahra Haiza Azmina yang dipanggil Dede sedari bayi. Ketika Dede telah
genap enam bulan, rumah di samping Abah Alawi sudah selesai dibangun, meski
belum sempurna. Amin pun memboyong keluarga kecilnya dari Gang Beringin, pindah
ke rumah baru mereka yang belum dipasangi kaca, tanpa langit-langit, dan belum
berlantai sempurna.
Amin dikaruniai kemudahan dalam hal keturunan. Dua tahun
setelah Dede lahir, adiknya menyusul. Putri lucu yang diberi nama Kiki Zaqiah,
lahir tahun 1983. Ketika Kiki berumur
enam bulan, Amin kembali mendapatkan momentum yang melecutnya untuk semakin bersungguh-sungguh
merealisasikan pembangunan pesantren.
Motivasi Wa Ajengan
Momentum itu datang ketika Amin mengikuti pasaran di Pesantren Muftahul Huda,
Manonjaya, Tasikmalaya. Selama empat puluh hari, Amin belajar kepada Ua
Ajengan, panggilan akrab K.H. Khoer Afandi pucuk pimpinan pesantren terbesar di
Jawa Barat itu. Pasaran ini sekaligus bukti kecintaan yang tinggi
terhadap ilmu. Bukan hanya sudah beristeri, tetapi Amin sudah dikarunia tiga
putri yang masih belia. Dalam
seperti itu, semangat belajarnya tak padam oleh kesibukan.
Sepulang dari Manonjaya, semakin rapi saja Amin
merencanakan cita-citanya. Amin semakin mantap untuk meneruskan perjuangan para
ulama lewat pendirian sebuah pesantren. Pergerakan pertama yang ia lakukan
adalah membuka percetakan Hand Press dengan modal delapan ratus ribu pinjaman dari BPD Jabar Purwakarta. Keterampilan Amin dalam hal wirausaha sedari
kecil benar-benar teruji ketika itu. Dari hasil percetakan itu, Amin mampu
membeli tanah di samping rumahnya, di Gang Alamanda, Gang Soka, Sukamulya, di
Jalan Veteran Nomor 155, di Ciseureuh dekat kampus Madrasah Aliyah Negeri
Purwakarta, dan di Bendul. Usaha percetakan itu kian menggurita. Tahun 1987,
Amin telah merambah bisnis toko ATK, copy centre dengan empat mesin photo
copy merek Agfa.
Dakwah di Wanayasa
Sebagai seorang sarjana yang lulusan pesantren, tentu saja
pikiran utama Amin adalah tentang pendidikan dan umat. Usaha photo copy dan
percetakan tidak membuatnya lupa dari dari tugas membina umat. Setahun setelah
kelahiran putri bungsunya, Amin mengembangkan pendidikan di daerah Wanayasa
melalui penugasan sebagai Kepala Madrasah Tsanawiyah YPMI. Sebelumnya, Jebolan
Cipasung dan Manonjaya ini, dipromosikan sebagai kepala MTs Negeri Purwakarta.
Hijrah rupanya telah ditakdirka lekat dengan ayah dari Ifa, Dede, dan Kiki ini.
Dari tahun
1984 sampai 1988, Amin akrab dengan masyarakat Wanayasa. Bukan sekadar
mengurusi madrasah tempatnya bertugas, tetapi juga mencerahkan masyarakat
melalui pengajian-pengajian. Demi, cita-cita membangun pesantren yang telah
terpatri dalam dadanya, Amin beberapa kali mengajukan mutasi dari daerah
terdingin di Purwakarta itu. Ijin pindah tempat kerja tak kunjung didapatnya.
Solusi cerdas segera dirancangnya.
Mendirikan
Al-Wathon
Amin
menyiapkan tempat barunya sendiri. Tahun 1987 dibelinya sebidang tanah di
daerah Bendul Sukatani seluas dua patok setengah, setara dengan 1000 m2.
Di atas lahan ini kemudian dibangun satu kelas ruang belajar. Itulah MTs
Al-Wathon. Lembaga pendidikan pertama yang Amin bangun. Madrasah cikal ini
diperluasnya lagi dengan membeli tanah seluas 1500 m2. Untuk semua
itu, Amin dan isteri harus merelakan simpanannya untuk berangkat haji terpakai.
Ya, semua biaya tanah dan pembangunan madrasah itu seratus persen dari saku
pribadi Amin.
Pada tahun 1989, hasil usaha Amin yang
disimpan dalam bentuk tabungan telah bernilai sepuluh juta rupiah. Jumlah fantastis pada dekade itu. Tak sabar rasa hati
Amin untuk segera memulai pembangunan pesantren. Agar lebih mantap hatinya,
Amin pun berkunjung ke K.H. Drs. AF Ghazali, SH di Bandung, seorang ulama kharismatik dan amat terkenal di Jawa Barat. Beliau
adalah seorang mubaligh ulung dengan retorika yang sangat khas dalam bahasa
Sunda yang amat menyentuh rasa dan mudah dicerna.
Dari sang kiai
inilah, Amin menerima
sebuah masukan yang sangat menghunjam hatinya. Amin disarankan menggunakan
tabungan tersebut untuk naik haji terlebih dahulu. “Mendirikan pesantren
adalah tugas semua orang sedangkan ibadah haji adalah fardlu ain yang menjadi
tugas pribadi,” saran Kiai Ghazali. Amin pun mengiyakan saran tersebut dan
segera menyiapkan keberangkatannya ke Mekkah. Namun, ternyata azam untuk pergi menitipkan cita-cita di
Multazam tak jadi dilakukan tahun itu. Dana yang sudah disiapkan sudah habis
terpakai membangun Al-Wathon.
Rindu Puluhan Tahun yang Terbayar
Saat putri bungsunya berusia 7 tahun, kerinduan Amin
kepada Ka’bah menjadi kenyataan. Kerinduan
yang telah ditanamnya saat berumur 10 tahun nun jauh di kampung halamannya.
Rindu Ka’bah yang menyelinap, bersemayam dan mekar saat seorang juragan tahu di
kampungnya berangkat haji dengan diiringi tabuhan qasidah. Rindu yang terbayar
meski dengan berat hati meninggalkan anak-anak yang belum dewasa. Ifa baru berumus 10 tahun, Dede 9
tahun, dan si bungsu, Kiki 7 tahun. Tetapi, bekal tauhid dari Abah Ruhiyat dan Uwa Ajengan
memantapkan hati Amin tanpa sedikitpun khawatir dan cemas.
Di titik Multazam, antara Hajar Aswad dan pintu Kabah,
Amin dan istrinya meminta kepada Allah agar cita-cita mereka mendirikan pesantren
bisa terwujud. Do’a di penghujung Al-A’raf ayat 89 berikut inilah
عَلَى
ٱللَّهِ تَوَكَّلۡنَاۚ رَبَّنَا ٱفۡتَحۡ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَ قَوۡمِنَا بِٱلۡحَقِّ
وَأَنتَ خَيۡرُ ٱلۡفَٰتِحِينَ ٨٩
Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya
Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan
Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya
Doa itu terus
menerus dibaca oleh Amin dan mendatangkan keyakinan yang amat kuat di dadanya.
Pa Abun saat
wukuf di Arofah dalam ibadah haji pertamanya tahun 1990 yang ia rindukan sejak
usia 10 tahun
Dikira
Meninggal di Mina
Ibadah haji pertama Pa Abun menyisakan cerita dan hikmah
yang besar untuk perkembangan Al-Muhajirin. Berangkat dengan isteri tercinta,
Pa Abun menyaksikan bagaimana penataan yang kurang dalam ibadah haji tahun itu.
Jamaa’ah yang banyak hanya dipandu oleh satu orang pembimbing. Ada juga petugas
yang sama awamnya dengan jama’ah karena belum pernah ibadah haji. Akibatnya
banyak jama’ah yang nyasar dan tidak sampai ke Masjidil Haram untuk thawaf. Ada
yang sampai tapi bisa sa’i. Bahkan ada jamaah yang sa’i duluan sebelum thawaf.
Sejak saat itulah tekadnya untuk mengakan bimbingan ibadah haji bergelora di
dada Pa Abun.
Dalam perjalanan haji ini, Pa Abun yang memimpin 11 orang
jama’ah, sangat mensyukuri mobil mogok yang dinaikinya bersama-sama menuju
Mina. Apa pasal? Peristiwa tragis yang merenggut sekitar 700 nyawa jamaah haji
terjadi pada musim haji tahun itu. Tabrakan sesama jamaah di terowongan Muasim
adalah penyebabnya. Andai saja mobil yang dinaiki pa Abun saat itu melaju
lancar dan masuk terowongan, namanya akan tercatat sebagai bagian dari 700
syahid Mina. Sungguh mogok yang menyelamatkan.
Pa Abun akhirnya memilih langsung ke Mekah untuk thawaf,
sa’i dan cukur rambut. Di sewanya mobil bak terbuka dari Mina menuju Mekah.
Jama’ah lain dari Purwakarta yang sudah mabit terlebih dahulu di Mina,
berharap-harap cemas. Karena lama tak kunjung, mereka mengira pa Abun dan
isteri menjadi korban tragedy Mina. Begitu sore hari Pa Abun, isteri dan
jama’ah muncul di tenda, terharulah semua jama’ah. Pa Abun selamat.
Sepulang dari berhaji, pintu-pintu menuju cita-cita
mendirikan pesantren terbuka lebar. Segala kemudahan tampak begitu dekat dan
mengalir tanpa penghambat. Maka, pesantren itu pun cepat dan pasti mulai
berdiri. Nama Amin muda, sang pendiri, telah berubah menjadi KH. Abun Bunyamin. Ditemani isteri tercinta, Dra
Hj. Euis Marfu’ah, melangkah bersama-sama mewujudkan
cita-cita besarnya.
Perjalanan haji pertama ini sekaligus meretas jalan Pa Abun
dalam urusan pembinaan haji untuk umat di waktu-waktu mendatang. Al-Muhajirin
di bawah kepemimpinan Pa Abun muda menjadi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji
pertama dan terbesar di Purwakarta.
Mendirikan TKA dan TPA
Doa yang tak berkesudahan di titik Multazam pada
tahun-tahun setelah K.H. Abun Bunyamin menunaikan ibadah haji seperti anak
kunci yang kemudian membuka pintu-pintu kemudahan. Pada
3 Januari tahun
1991, Taman Kanak-Kanak (TKA) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) mulai
berjalan. Belum ada gedung khusus yang dindingnya bergambar lucu atau
halamannya dipenuhi wahana-wahana permainan. TKA dan TPA yang menjadi cikal bakal
pesantren itu masih memanfaatkan rumah Pak Abun, panggilan KH Abun Bunyamin, di
Jalan Veteran No 155, Purwakarta.
Sebuah pendidikan anak yang benar-benar berbasis rumah.
Praktiknya, bukan
cuma berfungsi ganda sebagai tempat tinggal dan bersekolah, rumah Pak Abun juga
menjadi tempat usaha percetakan yang terus berkembang. Pada awalnya, hanya ada 200 siswa di TKA dan TPA itu. Sedangkan gurunya berjumlah
tujuh orang. Mereka adalah Olis Setiawati, Tajuddin, Irham Musafir, Karsana,
Hamidah, Bu Muksin, dan tentu saja Abun Bunyamin dengan Euis Marfu’ah. Kelak,
TPA/TKA ini menjadi prototipe TPA/TKA di Jawa Barat.
Tahun 1991, TPA/TKA Al-Muhajirin adalah
satu-satunya lembaga pendidikan pra sekolah yang dikelola dengan serius dan
konsep yang kuat. Tidak mengherankan jika kepercayaan masyarakat kian menguat
dalam waktu singkat. Jumlah anak yang bersekolah di TKA ini meningkat sangat
fantastis pada waktu-waktu setelahnya.
Pada perkembangannya, jumlah siswa TKA ini mencapai 470
anak sedangkan guru-gurunya baru berjumlah 12 orang. Perkembangan yang luar
biasa ini tentu diikuti dengan kebutuhan akan lokasi dan bangunan yang lebih
memadai. Bergulirlah ide dan pelaksanaan pembangunan gedung TKA/TPA sebagai
langkah majunya.
Bermula dari Mesjid
Pada rentang waktu yang hampir bersamaan, sebuah masjid
di Perumahan Oesman Singawinata, Purwakarta tengah dibangun. Masjid jami yang
diberi nama Al-Muhajirin itu kepanitiannya diketuai Pak Abun. Saat itu posisi ketua RW di kawasan tersebut juga dijabatnya. Alamat kepercayaan masyarakat makin lekat dengan dirinya.
Sekitar bulan April pada tahun yang sama, berkumpullah para panitia
pembangunan masjid tersebut di rumah Pak Abun untuk berdiskusi mengenai
keberadaan masjid dan proyek lain yang kelak akan membuat kawasan tersebut
dikenal khalayak luas.
Mejid Jami Al-Muhajirin di Perum Usman Singawinata yang
pembangunannya diketuai Pa Abun
Para tokoh ini antara lain: H. Canondeng, H.
Sukarna, SH, Drs. Wasmin Wiryana, Bambang Suntaryono,
Hartadi, Drs. Amin Muksin, Deden Jaenudin, dan Pak Abun sendiri. Dalam
pertemuan itulah kemudian ide mengenai pendirian sebuah pondok pesantren
benar-benar terlisankan. Tukar pendapat dalam diskusi yang
hangat akhirnya membulatkan kesepakatan di antara mereka. Semua sepakat bahwa ide pendirian pesantren harus
diperjuangkan.
Langsung ke sasaran, obrolan yang awalnya santai itu
mengerucut tak hanya perihal bentuk pesantren yang menggabungkan unsur
modernitas dan tradisional namun juga memunculkan nama yang kemudian dipakai
hingga berdekade kemudian: Al-Muhajirin. Nama yang sama dengan masjid
jami yang tengah dibangun. Orang-orang yang sama, semangat yang sama, dan nama
dua entitas yang juga sama.
Setahun perjuangan itu diupayakan, tidak ada hasil yang
signifikan. Bahkan hampir gagal. Untuk membangun pesantren, pertama-tama tentu
saja urusan lahan yang harus disiapkan. Kerja keras panitia selama satu tahun
itu baru bisa mengumpulkan dana lima ratus ribu rupiah. Sangat jauh dari cukup
untuk membeli tanah yang telah dipilih lokasinya dengan harga 15 juta rupiah.
Tanah di Gang Kenanga II seluas 3100 m2 miliki Haji Syahri dan Ibu
Tuti Djuhati.
Selain masalah harga, lokasi tanah tersebut masih menyisakan
masalah. Tidak ada akses jalan untuk menjangkaunya. Pertolongan Allah swt
datang tanpa diduga. Adalah Wa Arkat Adireja yang Allah swt pilih sebagai
sebab. Pensiunan Brimob ini merelakan 120 m2 dapurnya hilang demi
akses jalan menuju lahan cikal bakal pesantren Al-Muhajirin. Sebab lainnya yang
Allah swt hadirkan adalah Wa Brata yang merelakan tanahnya seluas 200 m2
dibeli oleh panitia pembangunan pesantren. Benar-benar pertolongan Allah swt,
karena sebenarnya si Uwa sudah melakukan kesepakatan jual beli dengan Pa
Warsan. Tetapi niat baiknya untuk membantu pesantren membuatnya tak ragu
membatalkan penjualan tersebut. Di runut ke belakang, ternyata kedua sepuh ini
adalah jama’ah pengajian Pa Abun di Mesjid Agung sejak tahun 1984.
Permasalahan ternyata belum tuntas. Uang 500 ribu yang
dikumpulkan panitia hanya untuk membayar uang muka kepada pa Syahri. Bukan
hanya itu, pa Syahri pun barangkali karena melihat pa Abun yang tidak siap
dengan uang kontan, menyodorkan surat perjanjian. Isinya, sisa 14,5 juta lagi
harus lunas dalam 6 bulan. Bila tidak, maka uang muka tidak bisa diambil lagi.
Bukan perkara mudah menyepakati perjanjian tersebut. Pada momentum itulah, pa
Abun merasakan hikmah besar dari masa dakwahnya di Wanayasa selama empat tahun.
Drs. H. Suherman Saleh yang akrab disapa Uda Herman adalah
hikmah terpendam itu. Kepada Uda inilah, mantu Abah Alawi ini meminta saran
perihal surat perjanjian tersebut. Dengan kesiapan membantu dana pinjaman untuk
pelunasan pembayaran tanah kepada pa Syahri, Uda menyarankan agar perjanjian
tersebut ditandatangani saja. Sebagai kepercayaan atas pinjaman tersebut, pa
Abun menjaminkan tanah seluas 400 m2 di Jl. Veteran Ciseureuh,
persis di depan MAN sekarang.
Enam bulan dari masa penandatanganan surat perjanjan itu
lewat sudah. 31 Desember 1992, ternyata 14,5 juta untuk melunasi hutang gagal
terkumpul. Pa Abun kembali menemui Uda Herman. Keyakinannya kepada pertolongan
Allah swt berbuah manis. Pulang dari Uda, uang 15 juta berhasil dibawa pulang.
Tanah seluas seluas 3100 m2 itu pun sah menjadi miliknya. Di sanalah
kelak kampus pusat Al-Muhajirin berdiri tegak. O, barangkali ini jawaban do’a
Multazam itu.
Perihal Nama Al-Muhajirin
Meski nama Al-Muhajirin sebagai identitas lembaga dan
masjid muncul tahun 1991, sejarahnya membentang lebih dari satu dekade
sebelumnya. Penamaan tersebut tak lepas dari pengalaman dan perenungan Pak Abun
semenjak lama. Ketika pada awal tahun 80-an Pak Abun mulai banyak berkiprah di
berbagai kegiatan dakwah di Purwakarta, mulai muncul gesekan-gesekan yang
bermula dari sikap tidak suka kaum tua terhadap kemunculan Pak Abun. Pendekatan
dakwah yang khas anak muda, pemikiran-pemikiran yang segar dan “beda” dengan
para pendahulunya membuat Pak Abun muda menjadi sorotan bahkan mendapat
penolakan. Sebuah fenomena yang kerapkali muncul ketika generasi pendahulu
mendadak khawatir peran dan keberadaan mereka tergeser oleh kedatangan
pembaharu. Pada titik puncak gesekan tersebut, Pak Abun kemudian
memutuskan untuk berhijrah, sebagaimana Nabi Muhammad dan para sahabat
berhijrah meninggalkan masyarakat Mekkah yang statis menuju Madinah yang penuh
harapan.
Semangat menuju titik harapan inilah yang kemudian
memantapkan Pak Abun untuk memberi nama masjid jami’ yang dibangun di Perum Usman dibawah komandonya dengan nama Al-Muhajirin. Begitu
juga dengan nama pondok pesantren yang tengah dirintis. Dalam diskusi di rumah
Pak Abun, saat ide pondok pesantren digulirkan, sempat muncul usulan agar ada
label “modern” di belakang kata pesantren sehingga menjadi Pondok Pesantren
Modern Al-Muhajirin. Namun, pada perkembangan diskusi, semua peserta diskusi
sepakat kata modern tidak dipakai, mengingat Al-Muhajirin sendiri memang
menggabungkan dua unsur: tradisional dan modern pada karakteristik proses
belajar mengajarnya.
Pertemuan di rumah Pak Abun selain menghasilkan bentuk
dan nama pesantren juga memilih beberapa orang yang duduk di jajaran panitia
penerimaan wakaf diketuai Bambang Suntaryono dengan sekretaris Deden Zaenudin
dan bendahara Hartadi.
Rintisan Pondok Pesantren Al-Muhajirin mulai
memperlihatkan titik terang sewaktu penerimaan santri dimulai, mereka yang
mendaftar datang dari berbagai daerah, tak terbatas dari wilayah Purwakarta
saja. Paling tidak, dari 18 santri baru yang tercatat, beberapa di antaranya datang
dari Karawang, Subang, hingga Sumedang.
Semacam botol bertemu tutupnya, dukungan masyarakat
terhadap pesantren yang baru memulai langkahnya terus berdatangan. Termasuk di
antaranya ketika seorang tokoh agama di daerah Ciseureuh, Purwakarta bernama H.
Rachmat mewakafkan sebidang tanahnya untuk Pesantren Al-Muhajirin.
Sebagai seorang tokoh yang berwawasan keagamaan yang
baik, H Rachmat mengisyaratkan bahwa dia ingin mewakafkan tanahnya untuk
pendirian sebuah masjid yang kelak setelah berdiri menjadi tempat ibadah yang
makmur jamaah, bukan masjid yang sekadar megah namun sepi dari berbagai
kegiatan keagamaan dan kurang bermanfaat bagi umat.
Pak Abun kemudian meyakinkan H. Rachmat bahwa tanah yang
hendak diwakafkan itu pasti akan bermanfaat bagi orang banyak dan ramai oleh
kegiatan keagamaan karena berdiri di tengah-tengah sebuah pondok pesantren yang
pada waktu mendatang diyakini akan memiliki banyak santri. Di kemudian hari, di atas tanah ini
berdiri masjid Al-Mukhtar. Mesjid yang tak pernah sepi dari berjamaah shalat
sepanjang tahun.
Pergerakan pembangunan pesantren itu deras dan cepat
mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pak Abun mulai memperluas lahan yang
hendak dibangun dengan bantuan para dermawan. Nama-nama yang akan terus
tercatat dalam proses rintisan itu di antaranya: Hj Sukarti dan H. Budiana yang
berumah di Gang Soka, Purwakarta.
Cercaan dan hujatan yang mewarnai perjalanan pesantren
yang kelak menjadi terbesar di Purwakarta ini,
menjadi bekal untuk semakin larut dalam kedekatan amat dekat dengan
Allah Pembolak-balik rasa dalam sukma bila malam tiba. Selalu mengkomunikasikan Al-Muhajirin kepada Allah, itulah
yang setia Pak Abun lakukan. Komunikasi spiritual ini kemudian membekaskan
keberanian untuk membawa Al-Muhajirin ke dalam pembicaraan dengan sebanyak
mungkin orang. Dengan keluarga, teman,
pejabat, teman, keluarga, hartawan, pengusaha dan kaum intelektual,
Al-Muhajirin setia jadi tema bicara. Al-Muhajirin adalah cinta mati perjuangan
Pak Abun. Kemanapun, dimanapun, dengan siapapun, dan apapun kesibukan adalah
untuk kesuksesan Al-Muhajirin. Melalui Al-Muhajirin inilah membina umat untuk
kejayaan Islam divisikan.
Selama Al-Muhajirin membangun, Pak Abun juga tak luput
bermunajat pada Allah SWT. Setiap hari melakukannya, sepanjang malam melakukannya.
Pak Abun juga melakukan sebuah amalan dan wirid-wirid khusus yang didapatnya
dari KH Yusuf Taji, seorang ulama kharismatik dari Wanaraja Garut. Ulama yang
masih ada hubungan kerabat dengan abahnya itu memberikan dua amalan sebelum dan
sesudah tidur yang harus dilakukan Pak
Abun.
Puasa Karena Tidak Ada Beras
Pada tahun-tahun pertama Pesantren Al-Muhajirin berjalan,
sebagian besar santri berasal dari kalangan tidak mampu. Bukan hanya belajarnya
yang cuma-cuma, kebutuhan sehari-hari para santri ini akhirnya ditanggung oleh
pesantren. Karena baru saja dirintis, kondisi keuangan pesantren tentulah masih
belum stabil. Hal ini berimbas pada kemampuan pesantren untuk menanggung
seluruh kebutuhan santri. Mau tak mau, pesantren sangat bergantung pada bantuan
para donatur.
Ketika itu, belum ada asrama tempat para santri
beraktivitas di luar pesantren. Mereka masih ditampung di rumah Pak Abun di
Jalan Veteran No. 163, Purwakarta. Ketika bantuan dari donatur kurang
mencukupi atau malah tidak ada sama sekali, para santri pun sama-sama berpuasa.
Namun, pada waktu selanjutnya, bantuan dari para donatur
terus berdatangan, dan berbagai pos pengeluaran santri pun bisa ditutup. Satu
tahun setelah penerimaan santri pertama kali dilakukan, ide untuk terus melengkapi entitas dalam lingkungan
pesantren berlanjut. Pak Abun
berinisiatif membuka madrasah tsanawiyah sekaligus memulai pembangunan fisik
Pesantren Al- Muhajirin di Jalan Veteran, Gang Kenanga II Kebin Kolot,
Purwakarta.
Kali ini, posisi ketua panitia dipercayakan kepada Afif
Anwari. Ketika proses pembangunan fisik pesantren dimulai, jumlah santri aktif
telah bertambah menjadi 52 orang. Hingga Februari 1993, pesantren Al-Muhajirin
terus mencari bentuk ideal proses belajar mengajarnya. Banyak kekurangan yang
terus menerus disempurnakan. Termasuk salah satunya kekurangan jumlah guru. Pak
Abun, ketika itu, bahkan harus bertanggung jawab seorang diri untuk mengajar
kajian kitab kuning seluruh santri karena belum ada guru yang bisa
mendampinginya.
Peresmian Gedung Pesantren
Dengan segala kesulitan dan keterbatasan, akhirnya
pembangunan sebanyak lima kelas ruang
belajar dan asrama bisa diselesaikan.
Usaha yang dirintis Pa Abun rupanya disiapkan untuk membangun pesantren yang
telah lama dicita-citakannya. Toko photo copi dan Alat
Tulis Kantor serta percetakan yang
dikelolanya sungguh banyak
menunjang pembangunan pondok pesantren.
Bila simpanan uang pada kas panitia menipis atau habis, dengan tanpa ragu Pa
Abun mennggunakan dana keluarga untuk menutupinya.
Tepat pada tanggal 7 pebruari 1993 atau 15 Sya’ban 1413 H.
Peresmian gedung
baru langsung dilakukan Bupati Purwakarta waktu itu, H Soedarna T.M., SH. Hadir
juga dalam hari bersejarah itu, KH Khoer Affandi yang sekaligus memberikan ceramah. Ulama
sepuh lainnya yang hadir adalah KH. Drs. AF. Ghozali, SH, sang da’i kondang di tatar Sunda. Dari para ulama inilah, Pa Abun
mendapat suntikan motivasi dan ruhul jihad yang makin membuatnya bulat
dalam tekad mewujudkan pesantren sebagai sarana pengabdian untuk kejayaan Islam
dan mencerdaskan umat.
Wa Ajengan hadir saat peresmian Pondok Pesantren Al-Muhajirin
Wa Ajengan hadir saat peresmian Pondok Pesantren Al-Muhajirin
17 Pengukir
Sejarah
Jauh sebelum lahan dan bangunan di Gang Kenanga II ini
siap dan resmi digunakan, kegiatan pesantren sebenarnya sudah dimulai di rumah
Pa Abun sendiri. Adalah 17
orang santri dari kalangan masyarakat ekonomi lemah yang menjadi as-saabiquun
al-Awwaluun bagi pesantren Al-Muhajirin. Selama satu tahun pertama, santri
yang datang dari Sumedang, Karawang, Subang dan Purwakarta ini kebutuhan
hidupnya di pesantren ditanggung oleh Pa Abun dan isteri. Sesekali ada donatur
yang membantu meringankan beban. Para santri angkatan pertama ini semuanya
sekolah di luar, baik di MTs, MA, atau SMK.
Resmi sejak 7 Februari, seluruh santri berpindah dari
“asrama” sementara di rumah Pak Abun di Jalan Veteran no. 163 ke lokasi baru yang berdiri tegak di Jalan Kenanga
II. Sejak hari itu, Pak Abun bahu-membahu dengan mitra pantang
mundurnya: Drs Sofyan Sulaeman dan guru kitab salaf alumni Pesantren Miftahul
Huda Manonjaya; Ade Rosyidin. Bertiga, mereka terus maju mengembangkan
pesantren yang baru dirintis itu. Lokasi baru yang strategis, sarana prasarana
yang memadai membuat apa yang dicita-citakan: membentuk generasi berakhlak
mulia bergulir menuju arah yang kian jelas.
Panti Asuhan dan Koperasi
Kondisi 17 santri pertama pesantren Al-Muhajirin yang
berasal dari keluarga tidak mampu, mendorong pa Abun untuk memastikan
keberlanjutan belajar mereka tanpa harus membebankan biaya. Demikian pula
dengan kebutuhan sehari-hari mereka. Panti Asuhan Sosial Anak (PSAA) dipandang
Pa Abun sebagai sebuah peluang. Maka pada tahun 1993 itu, terbentuklah PSAA
Al-Muhajirin seiring dengan kegiatan pesantren di gedung baru yang kian ramai.
Pengalaman menjadi pengurus koperasi saat sekolah di
Majalengka dulu, rupanya berbekas dalam diri Kyai yang Enterprenuer ini. Untuk
mencukupi kebutuhan para santri, didirikanlah Koperasi Pondok Pesantren
Al-Muhajirin.
Tsanawiyah dan Aliyah
Setelah memiliki MTs Al-Wathon, Madrasah Aliyah, dan
TKA/TPA, Pa Abun merasa pesantrennya tidak lengkap tanpa Madrasah Tsanawiyah.
Menjawab idealisme tersebut, pada tahun peresmian pesantren dibuka pula
pendaftaran untuk MTs Al-Muhajirin.
Nama Al-Muhajirin kian mengemuka dan diakui. Jumlah
santri baru yang mendaftar terus meningkat dengan pesat. Pada Juli 1994, jumlah
santri tercatat sejumlah 82 orang.
Bertambahnya jumlah santri ini salah satunya karena ada pelimpahan murid
dari Madrasah Aliyah Salafiyah, Gang Beringin. Di kemudian hari, nama madrasah
itu diubah menjadi Madrasah Aliyah Al-Muhajirin Kebon Kolot, Purwakarta. Lima tahun sebelumnya, Pa Abun bersama
KH. Yusuf Tojiri memang mendirikan MA Salafiyah di Gang Beringin.
Penambahan entitas pendidikan ini kian
mempertegas posisi Al-Muhajirin sebagai institusi pesantren yang juga kompeten
menyelenggarakan pendidikan sekolah. Ketika itu, belum ada satu pondok
pesantren pun di Purwakarta yang menyelenggarakan pendidikan TKA, MTs,
dan MA.
Mengunjungi Guru, KH. Ilyas Ruhiyat dalam Acara Muktamar NU
ke-29 tahun 1994 pada saat perjuangan Al-Muhajirin sedang dirintis
Tantangan Awal
Ketika gedung asrama santri telah berdiri tegak, tak
berarti selesai tantangan yang membayang-bayangi. Bertambahnya jumlah santri
sudah tentu membuat semangat untuk membesarkan pesantren kian menyala. Namun,
pertambahan jumlah penghuni asrama punya konsekuensi lain; bertambahnya jumlah
kebutuhan harian santri yang mesti dipenuhi.
Langkah proaktif untuk memastikan donasi tetap mengalir
dari para dermawan menjadi prioritas untuk terus dilakukan. Kepercayaan para
donatur terhadap pengelolaan dana yang masuk ke pesantren menjadi kunci
bagaimana dana untuk menopang kebutuhan para santri terus mengalir. Tak
diragukan lagi, profesionalitas dan sikap amanah pengelola pesantren menjadi alasan
mengapa para donatur terus mempercayakan infak mereka ke Pesantren
Al-Muhajirin.
Tantangan satu terselesaikan, muncul lagi tantangan lain
yang sifatnya cukup mendasar: kurangnya pengajar kitab kuning yang menjadi
karakter khas pendidikan pesantren. Ketika itu selain Pak Abun, sudah ada
seorang guru bernama Ade Rosidi yang berbagai tugas untuk mendampingi
pembelajaran kitab salaf atau kitab kuning terhadap para santri.
Namun, karena Ade Rosidi memutuskan untuk berpindah dari
Al-Muhajirin ke Bendul, Sukatani pada 1994, beban pengajaran kitab kuning
seluruh santri lagi-lagi dipikul sendirian oleh Pak Abun. Bersanding dengan
berbagai aktivitas dan beban tugas Pak Abun lainnya, mengajar seluruh santri
menjadi hal yang tak mudah, terutama perihal pembagian waktu.
Akhirnya, demi efektivitas pengajaran dan keseimbangan
tugas-tugas yang lain, Pak Abun meminta bantuan Uwa Ajengan untuk mengirimkan
seorang santrinya, khusus untuk membantu Pak Abun dalam hal pengajaran kitab
kuning. Ua Ajengan lalu menugaskan Ade Mumuh untuk mengisi kekosongan pengajar
kitab kuning sepeninggalan Ade Rosidi.
Khusus untuk para pengajar, fase ini punya bumbu lebih
heroik lagi karena ketika asrama santri telah berdiri, para pengajar belum
memiliki ruangan mereka sendiri. Tak ada pilihan, supaya proses belajar para
santri tetap berjalan dengan baik dan tertib, para pengajar meninggalkan
pesantren ketika para santri tidur pada pukul 22:00, dan harus kembali lagi
pada pukul 04:00. Jeda di antaranya, para pengajar “pulang” ke rumah Pak Abun
di Jalan Veteran no 155.
Enam jam lowong antara waktu santri
tidur dan bangun menjelang Subuh itu bukan kemudian lepas dari
perhitungan Pak Abun dan pengelola pesantren lainnya. Tetap ada kekhawatiran
terhadap segala kemungkinan, karena selama enam jam jeda itu, pengawasan
terhadap santri otomatis longgar. Sedangkan area sekeliling lokasi masih berupa
kebun ilalang, rumpun bambu, dan pohon rambutan. Lebih menjadi kecemasan para
pengelola, bagaimana jika selama para pengajar tidak ada di pesantren, para santri
membutuhkan kehadiran para guru. Pemikiran ini membuat kebutuhan akan gedung
bagi para pengajar menjadi prioritas yang mesti dipikirkan.
Berbagai pertimbangan itu kemudian menjadi dasar fokus
pengembangan Al-Muhajirin mulai tahun 1995. Pembangunan terus dilakukan, para
pengajar mulai tinggal di lingkungan pesantren, Pak Abun dan keluarga berpindah
pula ke kompleks pesantren, sehingga pembinaan para santri, pendampingan
program, dan segala yang direncanakan bisa berjalan seusia harapan. Perlahan
namun pasti, nama Al-Muhajirin kian menguat di masyarakat. Pembuktian demi
pembuktian membuat pesantren yang diawali dari tekad ini menjelma menjadi
tempat belajar tepercaya.
Pa Abun dan Ibu Euis HIjrah ke Kantor Baru tahun 1995 di
Gang Kenanga II yang kini menjadi kampus pusat Al-Muhajirin
KBIH
Pertama dan Terbesar
Memori peristiwa Mina dan kesedihan menyaksikan ibadah haji
jamaah yang tidak terbimbing, melekatkan pesantren Al-Muhajirin dengan
bimbingan ibadah haji. Dari 11 jamaah yang dibimbing Pa Abun dan isteri pada
tahun 1990, 5 tahun kemudian resmilah berdiri Kelompok Bimbingan Ibadah Haji
(KBIH) dengan ratusan jama’ah. KBIH ini sekaligus menjadi yang pertama dan
terbesar di Purwakarta.
Pa Abun
mengajak dan melibatkan para Kyai sepuh di Purwakarta dalam pembinaan umat
melalui KBIH nya ini. Jejak ini, telah
disematkan dalam dirinya oleh sang Ayah. Saat kecil dulu Abah sering
mengajaknya berkunjung menemui para ulama di kabupaten Sumedang. Dari sanalah,
Pa Abun kecil saat itu mengenal nama KH. Muhamad Syatibi, ulama besar Sumedang,
KH. Amin, KH. Muhamad Toha Suja’i, KH. Ahmad Azizi, Ajengan Mahmud, dan Mama
Cileunyi, KH. Kapten Makmun Cililin, KH. Yusuf Tojiri Wanaraja Garut, KH.
Suja’i Sindangsari Cileunyi, dan Mama Ajengan Adi Suhrowardi Pengasuh Pesantren
Sukamiskin Bandung. Jejaring Abah dengan para ulama itu, Pa Abun teladani
melalui KBIH.
KBIH yang didirikan demi menyelamatkan ibadah umat
Nahdlatul ‘Ulama
Persentuhan
Pa Abun dengan NU telah dimulai sejak kuliah di IAIN Bandung, pada tahun 70-an.
Sepuluh setelah itu, 1980, pada awal kehidupannya di Purwakarta, status sebagai
pengurus Gerakan Pemuda Ansor Wilayah Jawa Barat disandangnya. Pada tahun itu, Pa Abun mengikuti muktamar GP. Ansor di
Gelora Pancasila Surabaya. Pesan dari KH. Ilyas yang menitipkan NU rupanya
selalu diingatnya.
Bagian Tiga
Satu Pipa
S
|
etelah sukses
mendirikan TKA dan menjadikannya sebagai
TK terbesar di Purwakarta, 10 tahun kemudian Pa Abun mendirikan Play Group.
Sebuah terobosan, sebab kala itu lembaga selevel ini belum popular di
masyarakat. Maka tahun 1999, Pesantren
Al-Muhajirin resmi memiliki lembaga pendidikan untuk anak usia dini.
Selama lebih kurang delapan tahun, ratusan santri lulusan TK
diterima di berbagai sekolah dasar di Purwakarta. Bagaimana jika
pendidikan mereka terus berlanjut di Al-Muhajirin? Bukankah nilai-nilai
keislaman yang sejak dini ditanamkan akan terjaga kesinambungannya? Pemikiran
seperti ini, membuat Pa Abun segera mendirikan Sekolah Dasar pada tahun yang
sama dengan Play Grup. Lembaga pendidikan dasar ini dinamainya Sekolah Dasar
Plus.
Kata Plus merujuk pada pemikiran Pak Abun tentang sebuah
lembaga pendidikan dasar yang sarat nilai lebih keislaman. Plus juga berarti
keunggulan. Dengan konsep Plus, SD ini sejak kelahirannya dituntut tampil lebih dari yang biasa dan lebih dari yang
lain. Namun tetap memelihara yang sudah
ada, tak lantas meninggalkan sesuatu
yang sudah baik demi mencapai sesuatu hal baru yang belum tentu bisa
diraih.
Sekulerisme adalah salah permasalahan pendidikan di
Indonesia. Sejarah pendidikan nasional sejak awal memang diwarnai tarik-menarik
antara kaum Islamis dengan nasionalis. Lembaga pendidikan pun terpecah menjadi
sekolah dan madrasah. Begitu juga, keilmuan dan mata pelajaran terbelah menjadi
umum dan agama. Pa Abun cermat membaca fenomena ini.
Bukan hanya secara politis, dualisme itu terjadi, tetapi
juga secara sosiologis. Masyarakat juga memiliki pandangan yang tidak seimbang
terhadapa sekolah dan madrasah. Sampai tahun 1999 itu, tak dapat dipungkiri
madrasah dan pesantren masih dipandang sebelah mata. Masih dianggap sebagai
lembaga pendidikan nomor dua. Lebih memilih sekolah daripada madrasah, SMP
daripada MTs, dan SMA daripada MA. Juga lebih senang dengan negeri daripada
swasta. Berpikir dinamis yang sejak awal jadi moto Al-Muhajirin, mengusik Pa
Abun untuk segera menyikapi dan mengantisipasi gejala ini bagi perkembangan
pesantrennya.
Pada tahun itu, genaplah pesantren Al-Muhajirin memiliki
semua lembaga pendidikan dasar dan menengah. Keberadaan MTs dan MA, mulai tahun
pelajaran 1999/2000 dilengkapi dengan SMP dan SMA. Terbukti, animo masyarakat
makin meningkat. Jumlah santri bertambah signifikan. Tetapi bagi Pa Abun, bukan
sekadar urusan jumlah santri. Ada yang lebih strategis daripada itu.
Naluri kewirausahaan yang telah lekat sejak belia, rupanya
berbicara dalam sikap Pa Abun terhadap fenomena dualisme pendidikan tadi. Tentu
jadi pikiran siang dan malam agar sebanyak mungkin keluarga muslim mendidik
anaknya di pesantren. Jadilah SMP dan SMA sebagai kemasan dan daya tarik supaya
masyarakat tidak ragu menitipkan anak-anaknya di pesantren.
Semua lembaga pendidikan yang didirikan Pa Abun selalu
berhaluan independen dan otonom dalam pengembangan kurikulum. Sejak kurikulum
TK, Play Grup, MTS, SMP, MA sampai SMA dikembangkan secara mandiri. Pa Abun tak
ragu menambah atau mengurangi, mengadakan atau menghilangkan. Pijakannya adalah
visi pesantren yang dibangunnya dengan penuh pengorbanan itu. Apapun yang
mendukung visi, tanpa ragu ditambahkan. Sebaliknya, apapun yang merugikan visi,
tanpa ragu diabaikan dan dibuang.
Sampai tahun 2002, tidak seluruh siswa yang belajar di empat
lembaga pendidikan tersebut nyantri dan ngobong di dalam pesantren. Melihat ini sebagai
kerawanan bagi kedisiplinan dan pembinaan santri, pada tahun itu Pa Abun
mewajibkan seluruh santri yang belajar di MTs, SMP, MA dan SMA untuk tinggal di
pesantren. Opsinya hanya dua, ngobong atau pindah ke sekolah lain. Bukan
keputusan yang mudah. Tak sedikit orang tua santri yang menolak kebijakan ini.
Sebagian dari mereka protes dengan keras. Bahkan ada segelintir orang yang
mengirim surat kaleng dan menuduh bahwa Pa Abun ingin membisniskan pesantren
dengan program ini.
Lebih dari sekadar hujatan surat kaleng pernah dan sering Pa
Abun terima dalam mendirikan, membangun dan mengembangkan pesantren ini. Maka
program wajib mondok ini terus berjalan dengan segala konsekwensinya. Pada
tahun pertama setelah kebijakan berani ini digulirkan, penerimaan santri baru
sempat turun drastis. Terutama SMA, sempat tak memiliki siswa untuk satu tahun
ajaran. Namun bukan Pa Abun bila bergeming oleh tantangan seperti ini. Didasari
itikad baik dan keyakinan yang mantap bahwa wajib mondok adalah pilihan
terbaik, maka pada tahun-tahun berikutnya jumlah santri kembali bertambah
bahkan bisa dibilang melonjak tinggi.
Melihat lengkapnya lembaga pendidikan yang telah
dibangunnya, dari mulai pendidikan dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah, Pa Abun mengidamkan kesinambungan belajar bagi seluruh santrinya. Ada
impian, santri Play Grup berlanjut belajar agama di TK, lalu masuk ke SD,
MTs/SMP, sampai MA/SMA. Mempelajari agama secara berkesinambungan tentu akan
membuat mereka lebih utuh memahami Islam. Inilah ide dasar PA Abun tentang
manajemen satu pipa.
Untuk mengarahkan lulusan SMA dan MA ke jenjang perguruan
tinggi, pada tahun 2007, Doktor Tafsir pertama di Purwakarta ini mendirikan
Sekolah Tinggi Agama Islam. Sesuai dengan kepakarannya dalam bidang tafsir,
STAI yang dibangunnya pun menjadi perguruan tinggi Islam pertama dengan program
studi Tafsir Hadits di Purwakarta dan sekitarnya. Sampai periode ini,
lengkaplah sudah Pa Abun memiliki lembaga pendidikan Islam dari mulai
pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi.
Tak dapat dipungkiri, seperti juga pesantren pada umumnya,
rata-rata santri yang berguru kepada Ketua Umum MUI Purwakarta ini berasal dari
luar Purwakarta. Sebaliknya harapan masyarakat Purwakarta untuk belajar di
pesantren Al-Muhajirin sebenarnya tinggi. Akan tetapi ketentuan semua santri
wajib mondok yang telah dipegang teguh sejak tahun 2002, menjadi dilema
tersendiri. Pa Abun membaca harapan masyarakat ini, mungkinkah belajara di
Al-Muhajirin tetapi tanpa mondok di pesantren.
Tahun 2010 adalah momentum untuk menjawab harapan tersebut.
Bermula dari keinginan H. Syamsuddin untuk beribadah haji pada tahun 2008
bersama keluarganya, tanah seluas 3100 m2 miliknya ditawarkan kepada
Pa Abun untuk dibayar dengan ongkos haji untuk lima orang. Di atas tanah itulah
didirikan SD dan SMP dengan konsep Full Day School. Selain menjual tanah, H.
Syamsudin juga mewakafkan 100 m2 untuk pesantren Al-Muhajirin. Sejak
2010 itulah, kesibukan Pa Abun kian bertambah dengan adanya kampus baru di
daerah Sukamulya Ciseureuh ini.
Masyarakat menyambut hangat kelahiran SD dan SMP Full Day
ini. Melalui konsep ini, masyarakat tetap dapat merasakan nuansa dan kultur
pendidikan pesantren meskipun tidak tinggal di pesantren seperti umumnya
santri. Sosok yang tak cepat puas dengan capaian suksesnya ini, menginginkan
ciri khas kajian dan kultur pesantren menjadi keunggulan di semua lembaga
pendidikannya, sekalipun siswanya tidak tinggal di asrama seperti kedua sekolah
penjaga kampus dua ini.
Kaderisasi yang dilakukan Pa Abun untuk mengelola lembaga
pendidikan di dua kampus ini berbuah sukses. Impian memiliki 1000 santri yang mondok
di pesantren terjawab di kampus satu sebagai sentral bagi pengembangan
Al-Muhajirin. Begitupun di kampus dua, bukan hanya lahan yang kian bertambah
untuk pengembangan pesantren, gedung dan jumlah siswa pun mengikuti peningkatan
itu. Lima tahun kemudian dari sejak pembelajaran kampus dua dimulai, lebih dari
1000 siswa belajar di kampus dua di atas lahan seluas 5 hektar dengan 39 ruang
kelas.
Pesantren bagi Pa Abun adalah induk sekaligus ruh bagi semua
lembaga pendidikan yang telah dibangunnya. Oleh karena itu, dalam benak Pa
Abun, di lahan yang masih berupa sawah ini kelak akan berdiri pesantren dengan
layanan dan fasilitas yang serba prima. Masjid yang megah, aula yang menawan,
kantin yang lengkap, dan tentu saja program yang unggul. Pa Abun sepertinya tak
berhenti merangkai impian untuk masa depan umat ini.
Impian yang kerap jadi kenyataan. Pada tahun 2012 skenario
Allah swt kembali menyapa Pa Abun. Tanah 22.000 m2, satu buah masjid
dan dua rumah permanen diiwakafkan untuk Al-Muhajirin. Bermodal informasi dari
salah seorang jamaah bimbingannya, Hj, Lela putri dari H. Halim tentang tanah
milik H. Bambang yang akan dijual di Citapen,
Pa Abun bersama H. Halim berangkat ke Jakarta menemui pemilik tanah.
Bukan uang ratusan juta yang dibawa, melainkan bulletin, buku karangannya yang
sudah terbit, kalender dan foto-foto kegiatan pesantren Al-Muhajirin. Bermodal
keyakinan yang mantap kepada Allah swt, Pa Abun sekenanya aja mengatakan siap
membayar 1 milyar untuk tanah itu. Padahal, tak satu peserpun yang
dikantonginya. Pa Bambang tidak langsung mengiyakan proses jual beli dengan Pa
Abun. Sebelumnya saja tanah itu sudah ditawar 3 milyar untuk perumahan. Satu
bulan kemudian, setelah melewati beberapa proses lahan baru itu resmi milik
pesantren Al-Muhajirin. Pada waktunya, hutang 1 milyar pun terlunasi.
Di atas
22.000 m2 itulah kampus 3 Al-Muhajirin resmi digunakan sejak tahun pelajaran
2012/2013. Keunggulan Bahasa, Pa Abun pilih sebagai kekhasan kampus terbarunya
ini. Memang sejak lama, kerinduan memiliki pesantren Bahasa ini melanda hati
Rais AM PCNU Purwakarta ini. Sejak tahun 1993 program Bahasa telah dicoba dan
diterapkan di kampus pusat. Namun tak kunjung membuahkan hasil yang ideal,
meski tidak berarti gagal. Pa Abun berkesimpulan, harus ada tempat, tenanga dan
lingkungan khusus untuk program seperti ini. Maka pilihannya jatuh kepada
kampus 3.
Seiring
perkembangan pesantren yang kian meluas, tanggung jawab keumatan penulis buku
Seni Memperpanjang Usia ini pun makin besar. Setahun setelah kampus 3 berjalan,
pada tahun 2013, penulis buku Seni Memperpanjang Usia ini terpilih sebagai Rais
‘Am PCNU Kabupaten Purwakarta. Dalam Konpercab di pondok pesantren Al-Hikamus
Salafiyah Cipulus, Kang Abun, begitu panggilan akrabnya di kalangan nahdliyin,
amanah itu dipikulkan kepadanya.
Keterlibatannya
dalam kepengurusan NU Purwakarta, telah dirajut Kang Abun sejak 2008 ketika
Drs. H. Nasir Saady yang ketua PCNU mengajaknya bergabung sebagai Wakil
Syuriyah. Nasir Saady adalah teman lama semasa aktif di Gerakan Pemuda Ansor,
belasan tahun yang lalu saat kuliah di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Untuk urusan
pendidikan formal, Pa Abun membuka SMP bagi santri yang bersekolah di kampus
ini. Sampai tahun 2012, berarti sudah ada tiga unit SMP yang tersebar di tiga
kampus. 1 unit MTs, 1 unit MA, 1 unit SMA, 2 unit SD yang berlokasi di kampus 1
dan 2; 1 unit TK, 1 unit TPA, 1 unit TK, dan 1 unit Perguruan Tinggi. Langsung
atau tidak langsung, sekitar empat ribu santri kini berguru kepada Pa Abun
melalui lembaga-lembaga tersebut.
Semuanya bermula dari santri 17 orang santri di rumahnya dengan
merelakan putri-putrinya yang saat itu masih kecil berbagi kamar dengan para
santri. Bermula dari hijrah ke Purwakarta dan warisan semangat Abah Alawi yang
ingin impiannya tentang pesantren kembali nyata. Bermula dari keteladanan dan
doa Abah dan Emah di Cimasuk. Bermula dari sanad ilmu selama belajar di
Majalengka, Bandung, Garut, dan Tasikmalaya, puluhan tahun yang lalu. Bermula
dari seorang Muhamad Thamrin yang hijrah nama menjadi Ade Bunyamin lalu hijrah
lagi untuk terakhir kalinya menjadi Abun Bunyamin.
Bagian Empat
Peta Pikiran
Alumni yang
Diharapkan
P
|
Mereka adalah alumni Al-Muhajirin. Sebagian dari mereka
dulunya belajar semasa TK di Al-Muhajirin. Sebagian lagi berlanjut ke SD Plus.
Banyak juga yang bahkan sampai berlanjut di SMP dan Tsanawiyah lalu menuntaskan
hingga SMA dan Aliyah. Ratusan lainnya adalah alumni STAI Al-Muhajirin.
Itulah impian Dr. KH. Abun Bunyamin, MA terhadap
setiap alumni Al-Muhajirin dari mulai play group sampai perguruan tinggi.
Doktor Tafsir pertama di Purwakarta ini telah bermimpi dengan sangat sadar dan
terjaga, 10-20 tahun yang akan datang, pejabat pemerintahan yang bertakwa dan
berakhlakul karimah, pebisnis yang bersih dan jujur, politisi yang beriman
kuat, dan posisi penting lainnya di eksekutif dan legislatif adalah
alumni-alumni Al-Muhajirin.
Mimpi yang menjadi cita-cita tertinggi Pak Abun dalam
membangun Al-Muhajirin ini begitu mengobati kerinduan akan sosok pejabat yang
benar-benar menerapkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Cita-cita akan
tokoh-tokoh masyarakat yang rajin shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji.
Tidak dengan sumpah serapah dan kritik membabi buta dalam
menyikapi moral pejabat yang korup. Tetapi cita-cita pendiri Al-Muhajirin ini
adalah jawaban yang futuristik tentang bagaimana seharusnya pejabat, pengusaha,
dan segenap posisi strategis lainnya punya sikap. Siap menjadi imam shalat,
sigap berbagi ilmu agama, komitmen menegakkan syiar agama Allah, cinta masjid,
rajin ibadah, dan andil berdakwah. Dengan karakter seperti inilah para alumni
itu kelak menjalankan tugas-tugas pentingnya dalam mengelola pemerintahan.
Karena kecintaannya pada ilmu dan kebanggaannya pada
almamater, para alumni yang menjadi ahli masjid, ahli ibadah, dan ahli dakwah
itu ikut mempertahankan, mengharumkan, dan membesarkan Al-Muhajirin dengan
mewariskan pendidikan yang sama untuk anak cucunya di Al-Muhajirin. Ajakan
kepada tetangga, sejawat dan masyarakat untuk hal yang sama menjadi kekuatan
yang dibangun alumni sebagai cara andil dalam berdakwah.
Tiga Nilai Pengembangan
Untuk memiliki alumni sedemikian rupa yang dipastikan
membawa perubahan besar untuk bangsa ini, Pak Abun merumuskan tiga kata sebagai
koridor pengembangan lembaga pendidikan di Al-Muhajirin: komprehensif,
visioner, dan komitmen terhadap visi yang telah dirumuskan. Pesantren sebagai
cikal bakal harus dijaga sebagai modal paling asasi yang menjadi ruh bagi semua
lembaga pendidikan lainnya.
Di tengah pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
menjamur dengan label modern, Al-Muhajirin harus tetap sebagai pesantren
tradisional yang konsisten menerapkan dan mewariskan akhlakul karimah seperti
zuhud, tawadlu, dan ibadah-ibadah fardlu dan sunat. Namun sebagai sikap dinamis
dalam merespon modernitas, kekhasan pesantren modern dalam penguasaan bahasa
Arab, Inggris, dan sains harus disandingkan kearifan tradisionalitas. Karena
itu, Al-Muhajirin harus menjadi pesantren yang memadupadankan keduanya.
Pada kenyataannya, tidak semua masyarakat siap memondokkan
anak-anaknya di pesantren. Tepatnya tidak semua anak mau belajar dan mondok di
pesantren, baik karena alasan jarak, tempat, atau alasan penghambat lainnya.
Perlu sebuah strategi jitu agar misi pendidikan pesantren tetap teraih meski
tanpa mondok sebagai ciri sejati sebuah lembaga disebut pesantren. Konsep
pendidikan plus diusung Pak Abun dalam mengembangkan pendidikan Al-Muhajirin.
Plus dimaksudkanya sebagai pendidikan yang selain menawarkan layanan sama
dengan pendidikan formal lainnya, juga menawarkan layanan lebih berupa
pembekalan pengetahuan, pengalaman, dan pengamalan pokok-pokok ajaran Islam.
Kebiasaan shalat lima waktu, membaca Al-Qur’an, hafal Juz
Amma dan surat pilihan adalah di antara beragam “plus” yang telah digagas.
Terutama tentang Al-Qur’an, doktor tafsir ini memberikan prioritas sebagai
nilai plus yang harus dijaga sebagai keunggulan. Karena itu, belajar Al-Qur’an
selalu dijadikan prinsip teguh Pak Abun sehingga menjadi pintu gerbang siswanya
menguasai ilmu-ilmu keislaman. Konsekuensi pemikiran pendidikan plus dari Pak
Abun ini menghendaki semua guru dalam semua mata pelajaran mampu membaca
Al-Qur’an dengan baik.
***
Cara Sikapi Hasil
Berpijak di kekinian sambil menolehkan pandangan pada 19
tahun ke belakang perjalanan Al-Muhajirin, Pak Abun adalah orang yang paling
pantas dan paling beralasan untuk meneguk bahagia dan bangga atas pencapaian
Al-Muhajirin. Anak-anak dalam usia yang sangat belia sudah mengenal komunitas
dalam tatanan Islam, terbiasa berucap basmallah,
lantang bersahutan salam, dan semangat melafalkan doa pendek untuk sehari meski
dengan pengucapan yang belum fasih. Pemandangan santri play group ini begitu
menghibur Pak Abun.
Sedikit terpaut usia dengan santri Play Group, para calon
pemimpin masa depan yang kini gembira belajar di TK Al-Muhajirin, mulai
terampil melafalkan dan membaca huruf Al-Qur’an. Hal ini sangat membahagiakan
Pak Abun. Ditambah lagi hafal bacaan shalat, surat-surat pendek dan surat
pilihan dari Al-Qur’an, doa sehari-hari, dan lantunan lagu-lagu islami.
Pemimpin yang komitmen pada shalat lima waktu itu telah mereka biasakan sejak
TK dengan seminggu sekali balajar praktik shalat berjama’ah.
Dalam usia yang mendekati tamyiz, kegembiraan Pak
Abun makin menemukan muara pada anak-anak SD. Kemampuan membaca Al-Qur’an yang
ada pada mayoritas mereka, hapalan juz amma yang terus dikejar, kebiasaan
shalat Dluha di setiap pagi mengawali pelajaran, berjamaah shalat Dzuhur setiap
hari, bahkan shalat Jumat dengan ketertiban dan khidmat yang patut diapresiasi.
Pada anak-anak spiritualnya di usia remaja dengan seabreg
pernak-pernik tantang dunia remaja, Pak Abun mensyukuri banyak hal. Pada santri
SMI itu ditemukan pemandangan shalat berjamaah, shalat rawatib dan nawafil,
sikap tawadlu dan hormat pada guru. Teristimewa pada mereka adalah kemandirian
sehingga mereka belajar mengatur kehidupannya karena jauh dari orangtua.
Beragam kejuaran, baik secara akademik maupun non akademik,
mulai tingkat gugus, kecamatan, sampai nasional, menjadi angin segar penghibur
jerih payah Pak Abun dalam rentang 19 tahun usia Al-Muhajirin. Bahkan prestasi
tingkat internasional mulai menemukan titik pijak untuk mengawali mimpi dalam
sadar di masa depan.
Namun, sosok yang tidak pernah mengharapkan dipanggil Kyai
ini, sangat sadar bila tatapan tadi diputar ke masa depan maka masih banyak
ketidaktercapaian yang harus dikejar. Masih ada ruang kosong yang belum terisi.
Masih ada robek yang harus ditambal. Disiplin dan dedikasi guru, kompetensi
guru mata pelajaran yang professional dan terampil membaca Al-Qur’an, belum
cukup menggenapkan kegembiraan dan kebanggaan Dr. KH. Abun Bunyamin, MA.
***
Tentang Motto itu
Keniscayaan untuk melakukan perbaikan jangan milik pendiri
Al-Muhajirin saja. Harus terwariskan. Harus tertularkan. Semangat semua
komponen Al-Muhajirin karenanya harus terus dinyalakan. Ide cemerlang Pak Abun
untuk mematri semangat ini telah dikemas sedemikian rupa dalam motto
Al-Muhahirin; Berpikir Dinamis, Berakhlak Salaf dan Berakidah Ahlu Sunah Wal
Jama’ah.
Bagi Pak Abun, motto itu bukan sekadar tentang Al-Muhajirin.
Sejatinya itulah yang seharusnya menjadi pencapaian tertinggi setiap lembaga
pendidikan. Ya, cara berpikir yang dinamis, budi pekerti yang baik, dan tauhid
yang terpatri dalam diri, itulah tujuan yang harus dicapai semua lembaga
pendidikan.
Berpikir dinamis artinya cerdas, berisi, sarat makna dan
tangkas menjawab tantangan zaman yang selalu dinamis, berkembang dan berubah. Berpikir dinamis artinya
fleksibel, lentur tidak kaku. Peka terhadap masalah sosial, tidak bebal dalam
kesendirian. Berpikir dinamis artinya tampil terdepan dalam mengambil peran
strategis di masyarakat.
Tidak cukup dengan pemikiran yang hanya menjejali
intelektual, budi pekerti yang baik atau akhlakuk
karimah menjadi harga mati bagi pendidikan. Juga bukan sembarang baik dan
karimah, tetapi punya rujukan dan panutan. Itulah mereka para salaf salih. Maka
berakhlak salaf menjadi kesempurnaan setelah berpikir dinamis.
Berakhlak salaf artinya meniru perilaku para ulama
terdahulu. Berakhlak salaf artinya mengedepankan amal daripada oral dan praktik
daripada wacana. Berakhlak salaf artinya pendidikan bukan sekadar berbicara
prestasi akademik, tetapi kekuatan amal dan keindahan moral seperti ditampilkan
pada zaman Nabi saw dan Khulafa Rasyidun. Dengan cara inilah Pak Abun meyakini,
kejayaan Islam bila terwujud di masa mendatang.
Para salaf salih setidaknya telah mewariskan tiga laku utama
yang penting dijadikan pegangan: dedikasi tinggi untuk agama, ketulusan
orientasi amal hanya pada pencapaian ridla Allah, dan keterjagaan dari moral
yang bejat. Dengan semangat akhlak salaf ini para pendidik di Al-Muhajirin
bekerja bukan lagi demi kesenangan atasan dan kepuasan materil; bukan mencari
dunia, melainkan dedikasi agar Islam terus hidup sampai akhir zaman. Ilmu dan
amal itulah kata kunci mewujudkan nilai-nilai luhur akhlak salaf tersebut dalam
diri setiap guru, santri, dan alumni Al-Muhajirin.
Berpikir dinamis bisa membuat orang terlanjur rasionalis.
Orientasi pada akhlak bisa menggiring orang pada laku asketis yang apatis.
Perlu perangkat lunak agar utuh dalam bingkai keberagamaan yang hanif.
Itulah aqidah islamiyah yang mewadahi prinsip-prinsip sangat asasi dari Islam.
Itulahcara beriman yang diwariskan Nabi saw dan para sahabat. Rasulullah saw
bersabda bahwa umat
Yahudi
terpecah
menjadi
71 golongan, umat Nabi
Muhammad
SAW akan terpecah
menjadi
73 golongan. Dan yang selamat
hanya
satu,
yaitu
yang bersama nabi dan
para sahabatnya.
Itulah akidah pembawa selamat. Itulah akidah Ahlus Sunah wal Jama’ah.
Nama-nama besar seperti Abu Hasan Al-Asy’ari, Abu Mansur
Al-Maturidy, Imam Abu Hanifah, Imam Anas bin Malik, Imam Asy-Syafi’I, Imam
Ahmad bin Hanbal, dan Imam Al-Ghazali adalah rujukan-rujukan penting dan utama
dalam menerapkan ajaran Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam aspek tauhid, fiqih, dan
akhlak. Seiring dinamika zaman yang selalu menghadirkan problematika berbeda,
komponen Al-Muhajirin di mulai dari para pemimpin lembaga dan guru-guru harus
bersikap dengan rujukan yang jelas. Bukan pemikir dinamis bila sekadar tuturut
munding. Maka penerapan motto ini harus diiringi dengan kegigihan belajar
tiada henti dan menelaah pada banyak referensi.
***
Sejak muda, Pak Abun telah akrab dengan Nahdlatul Ulama.
Sejak belajar di Cipasung tempat Kyai Ilyas Ruhiyat, Rais ‘Am NU pada masanya,
aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama semasa PGA dan mahasiswa, menghadiri
berbagai Muktamar, bahkan hingga kini sebagai pengurus NU Purwakarta, rupanya
persentuhan itu juga memperkenalkan Pak Abun dengan pemikiran tokoh paling
akbar dalam tubuh NU, Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Melampaui batas kenal, meski terpaut jarak antar generasi
nan amat jauh, Syaikh Hasyim Asy’ari
Sang pendiri NU ini telah menginspirasi pendirian pondok pesantren
Al-Muhajirin. Tidak terhenti pada pendirian, jargon akidah ahlus sunah wal
jama’ah yang telah dihapal segenap santrinya, adalah saksi inspirasi itu
kentara ada. Setelah Tebu Ireng, inspirasi serupa datang untuk Pak Abun dari
Tasikmalaya. Cipasung, pesantren terbesar dan tertua di Jawa Barat ini sukses
menyiramkan mimpi masa depan untuk membangun pesantren serupa kepada Pak Abun
saat muda. Sang pendiri, KH. Ruhiyat, lalu putra sulungnya, KH. Ilyas Ruhiyat,
ketika itu membuat Pak Abun muda begitu terkagum-kagum tentang perjuangan
sebuah pesantren.
Pak Ilyas, bukan Kyai Ilyas, demikian Kyai santun dari
Cipasung ini akrab disapa semua. Kekaguman itu juga telah merambahi urusan kenyamanan
sapaan semacam ini bagi Pak Abun. Tak heran, di kalangan santri, alumni, guru,
dan masyarakat Purwakarta, sulit untuk menyapa Dr. KH. Abun Bunyamin, MA,
dengan selain Pak Abun. Pengaruh dan inspirasi yang menuliskan pesan
tersembunyi seperti itulah hormat dan cinta murid pada guru berbekas.
Nama KH. Khoer Afandi, pendiri pesantren Miftahul Huda di
Manonjaya Tasikmalaya, masuk dalam daftar tokoh paling berpengaruh berikutnya
terhadap pemikiran pendidikan Pak Abun. Kegigihannya berjuang dan konsistensinya
mengembangkan pesantren merupakan energi penting bagi Pak Abun hingga
pencapaian Al-Muhajirin di hari ini.
Berpikir dinamis yang kini jadi logo juga telah berlaga
dalam perjalanan mendirikan Al-Muhajirin. Meski tidak berguru secara langsung,
bukan halangan bagi Pak Abun untuk mendalami pemikiran dan keberhasilan
seseorang. Trimurti pendiri Gontor mengisi ranah ini. Berawal dengan mengirim
dua putri sulung dan bungsunya ke Gontor, inspirasi Trimurti mengalir
mengiringi pengelolaan Al-Muhajirin.
Kecuali sebagian yang amat sedikit, tiap jengkal tanah di
Al-Muhajirin adalah wakaf. Dengan rapi diaktakan. Dengan teliti
didokumentasikan. Penataan organisasi dan kepengurusan pesantren. Pendelagasian tugas dan wewenang.
Kaderisasi pengelolaan dan kepemimpinan. Keluarga pendiri memiliki peran
dominan untuk menjaga dan mengawal visi dan misi yang telah digariskan. Logis
dan sewajarnya, keluarga pendiri adalah orang kedua secara struktural setelah
pendirinya untuk urusan-urusan strategis dalam menjaga keberlangsungan
pesantren.
Dalam kepemimpinan, senioritas dan pengabdian kepada lembaga
menjadi tolok ukur penting mendelegasikan tanggung jawab memimpin lembaga
pendidikan. Dari PG, TK, TPA, SD, SMI, mereka yang kini menjadi orang nomor
satu, adalah karena dua hal tadi. Untuk menjaga kesepahaman visi, rasa
memiliki, dan ikatan emosional, semua atau sebagian besar pendidik harus mereka
yang merasakan pula didikan Al-Muhajirin.
Metode yang jelas, kualitas lulusan berkelas dengan ciri
khas yang membekas menjadi agenda pengembangan ke depan. Dalam konteks itu,
penguasaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa dunia, terus diupayakan
sempurna menjadi keunggulan. Pada aspek-aspek manajerial dan kebahasaan ini
inspirasi mengalir dari trio pendiri pesantren Gontor. Sistem, itulah yang
dibangun, bukan figuritas apalagi kultus.
***
Misi Menjawab Tantangan
Sebagai pesantren, Al-Muhajirin harus mampu menjawab
permasalahan pendidikan nasional di negeri ini. Terutama permasalahan akhlak
dan kemandirian peserta didik. Orientasi tertinggi pendidikan sejauh ini hampir
terkubur ukuran-ukuran akademik. Ijazah, angka-angka, ulangan, dan ujian.
Sementara membentuk kemandirian dalam diri siswa nyaris terlupakan. Manja,
malas, tergantung pada orang tua, cepat mengalah menghadapi kesulitan hidup,
dominan dengan pola pikir dan tindakan yang instan, dan jauh dari kreatif
adalah potret pudarnya kemandirian dari lulusan pendidikan hampir di setiap
level.
Sama bermasalahnya adalah aspek moral dan akhlak. Tawuran
tak menunjukkan tanda segera hilang, kata-kata kasar dalam pergaulan, hormat
dan takzim pada orang tua dan guru yang kian gersang, pakain dan penampilan
yang jauh dari santun, terlebih lagi komitmen pada shalat lima waktu sebagai
sumber kebaikan yang amat memprihatinkan. Inilah setumpuk masalah pendidikan
nasional yang lebih berbahaya dari sekadar tidak lulus ujian nasional.
Para pendidik rupanya gagal mewariskan jiwa patriotisme
kepada para siswa. Dalam limbung dunia remaja, mereka kehilangan teladan dan
panutan. Pada sisi lain, rupanya kebijakan penguasa juga berandil besar dalam
hal ini. Anggaran pendidikan yang makin besar tetapi juga dengan bocor yang
besar. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) lagi-lagi menjadi penggerogot
besarnya anggaran pendidikan. Di sekolah, kejujuran menjadi barang langka
dengan harga yang sangat mahal. Bantuan-bantuan ke sekolah untuk peningkatan
mutu pendidikan, sering menjadi salah alamat. Swasta tetap saja dinomorduakan.
Memang seperti dikabarkan Allah dalam Al-Qur’an. Orang-orang
baik yang terujilah yang patut jadi pemimpin. Mereka yang dzalim bila memimpin
tidak bisa diharapkan untuk memperbaiki dan merubah keadaan (baca: Al-Baqarah
124) Pendidikan di negeri ini harus terhindar dari pemimpin seperti ini.
***
Lima Bekal Hadapi Masa Depan
Tidak cukup dengan komentar dan analisis. Al-Muhajirin harus
tampil proaktif menjawab segala permasalahan dan tantangan pendidikan.
Tahun-tahun mendatang, kedua hal ini akan semakin berat dan besar merintang.
Seperti sikap visioner yang terasah sejak muda dalam diri Pak Abun, mempersiapkan
Al-Muhajirin sebagai masa depan pendidikan Islam telah menjadi helaan nafas dan
denyut jantungnya. Lima hal harus segera mengkristal untuk keniscayaan masa
depan itu, yaitu kepemimpinan kolektif, program pembelajaran yang jelas;
keikhlasan, jiwa juang, dan disiplin; manajemen modern, dan dukungan internal.
Kaderisasi kepemimpinan merupakan concern Al-Muhajirin
mengantisipasi tantangan masa mendatang. Sekelompok kader pilihan, berkumpul
dan bergerak sebagai sebuah team yang solid, sepahaman tentang visi dan misi
yang diemban, saling menutupi kekurangan dan mengoptimalkan kelebihan, itulah
kepemimpinan kolektif yang membawa gerbong pendidikan Islam terdepan bernama
Al-Muhajirin.
Kejelasan program pembelajaran sebagai kendaran visi dan
misi menuju pencapaiannya, perlu digariskan dengan cerdas dan jelas. Kejelasan
target yang dicapai, kualitas lulusan yang hendak dijaminkan, struktur dan
muatan kurikulum yang sarat kekhasan, metodologi yang serempak ditampilkan, dan
evaluasi penilaian yang tidak terjebak pada sekadar angka adalah senjata ampuh
untuk bertarung di masa depan. Pada barisan berikutnya, SDM pendidikan yang
handal dan profesional setia mengawal perjalanan.
Perjalanan Al-Muhajirin ke depan akan penuh tantangan,
bahkan ancaman. Persaingan yang kian mengglobal, gaya hidup yang kering
spiritual, dan etos kerja yang selalu seukuran material adalah “virus” yang
akan menyerang SDM Al-Muhajirin. Maka ketulusan bekerja dan keikhlasan berjuang
di Al-Muhajirin adalah penawar paling tak bisa ditawar. Semua harus bekerja
dengan tulus. Bukan lagi hubungan lahiriah dengan pimpinan dan keluarga
Al-Muhajirin, bukan pula kontrak dalam lembaran kertas, tetapi bekerja sebagai
hubungan kehambaan dengan Allah dan kontrak “jual-beli” dengan-Nya yang
menyelamatkan hidup dunia dn akhirat. Ikhlas memang harus terus ditumbuhkan.
Keikhlasan ini yang akan menumbuhkan daya tahan dari segala
tantangan dan ancaman. Berjuang dengan keringat bercucuran, pikiran
terkuraskan, dan harta yang dikeluarkan yang mutlak dibutuhkan, akan menjadi
ringan dan indah. Bukan lagi keterpaksaan dan kepura-puraan. Sebab bukan
Al-Muhajirin untuk Al-Muhajirin, tetapi untuk kemaslahatan umat dan kejayaan
Islam.
Demikian pula halnya dengan disiplin yang akan menghiasi
kokohnya ketulusan dan daya juang setiap komponen Al-Muhajirin. Setia pada
visi, patuh pada aturan, dan taat pada kebijakan bukan sebagai beban
memberatkan, tetapi tanggung jawab dalam langkah bersama untuk mengantarkan pada tujuan yang
memuliakan. Itulah tiga wasiat ketangguhan SDM Al-Muhajirin; keikhlasan, jiwa
juang, dan disiplin.
Menghadapi kenyataan modernitas yang dikawal kecanggihan
tekonolgi dan kecepatan komunikasi adalah tantangan yang tak bisa dielakkan.
Tak cukup dengan kesiapan-kesiapan perangkat lunak kepemimpinan, kurikulum, dan
spiritualitas kerja seperti telah disebutkan, Al-Muhajirin harus tampil dengan
manajemen yang modern. Kecanggihan digital, sistem informasi berbasis internet,
dan komputerisasi dalam pengelolaan segala unsur manajerial merupakan
keniscayaan bagi manajemen Al-Muhajirin yang modern ini. Sekaligus perwujudan
dari motto berpikir dinamis mengimbangi dinamika jaman yang sangat cepat
berubah.
Mewariskan pendidikan Islam kepada anak cucu menjadi peran
yang melekat bagi setiap komponen Al-Muhajirin. Dalam konteks inilah, peran
alumni dan para guru untuk mewariskan
hal serupa kepada keturunannya seharusnya dipahami. Kongkritnya, bilapun mereka
tidak dididik secara langsung di Al-Muhajirin, maka belajar di lembaga pendidikan yang menjaga
nilai-nilai waratsatul anbiya dan komitmen pada ajaran Ahlus Sunah Wal
Jama’ah menjadi kepastian.
***
Al-Muhajirin adalah wujud perpaduan antara sekolah, madrasah
dan pesantren. Ketiga wujud lembaga pendidikan ini adalah satu kesatuan yang
kepada-Nya nama Al-Muhajirin tertuju. Kelebihan dan kekuatan dari ketiganya
itulah yang menjadi Al-Muhajirin. Meski pemilahan antara ketiganya kerap
ditemukan dalam operasional pendidikan Islam, bagi Pak Abun tidaklah demikian.
Inilah sikap yang sejak awal ditanamkan. Sebuah keterbukaan pada apa pun metode
kebaikan, selama itu makin menguatkan misi perjuangan untuk kejayaan Islam.
Sekolah dengan muatan yang lebih besar pada penguasaan sains
dan penumbuhan sikap kritis, madrasah dengan muatan yang dominan pada
ajaran-ajaran dasar keislaman. Karena keterbatasan waktu, dua wujud lembaga
pendidikan ini sejak lama dianggap kurang menaruh perhatian pada pengalaman dan
pengamalan nyata ilmu pengetahuan. Akibatnya akhlakul karimah kurang terbentuk
pada dua lembaga ini. Pada ruang inilah, pesantren mengisi kekosongan.
Dengan pola berasrama, pesantren mengisi ruang kosong
madrasah pada penguatan ilmu-ilmu keislaman dan ruang kosong sekolah pada aspek
perilaku (behavior). Pesantren menekankan pada aspek keberagamaan secara
kognitif, afektif, dan psikomotor. Struktur keilmuan di pesantren tergambar
pada 12 cabang disiplin ilmu yang menjadi ciri khasnya, yaitu ilmu
nahwu, sharaf,
ma’any, bahasa, badi’, fiqih, ushulfiqih, tajwid, ilmu tajwid, hadits,
ilmu
hadits dan tasawuf.
Al-Muhajirin harus tampil sebagai
lembaga yang secara ideal memadukan ketiga wujud lembaga tersebut. Dan seperti
itulah format pendidikan Islam ideal ke depan. Kritis seperti sekolah, santun
seperti madrasah, dan kukuh pada keislaman seperti pesantren. Untuk mewujudkan
itu memang tidak mudah, terutama berkaitan dengan kesiapan SDM pendidik. Ke
depan formasi guru antara yang ahli dalam kajian keislaman dengan bahasa, dan
ilmu pengetahuan harus sebanding. Lebih dari itu, semua harus tersatukan
sebagai satu kesatuan ilmu menuju tujuan tertinggi pendidikan yaitu mengenal
Allah. Inilah perjuangan Al-Muhajirin ke depan. Tanpa itu, lembaga pendidikan
Islam hanya seperti bangunan yang selalu bongkar pasang. Tanpa kesatuan seperti
ini, pendidikan Islam akan kehilangan orientasi. Tidak ke barat, tidak pula ke
timur. Terombang-ambing tak tentu arah. Satu pihak membangun, pihak lain
menghancurkan.
***
Seiring kenakalan remaja yang terus
terjadi sebagai potret buram pendidikan Indonesia, lembaga pendidikan agama dan
keagamaan ikut menjadi sorotan. Pesantren dan madrasah sebagai ikon pendidikan
Islam pun tak luput dari tuduhan mandul melahirkan siswa dengan budi pekerti
luhur dan akhlak mulia. Tentang hal ini, Pak Abun memiliki jawaban. Sedari
awal, trademark pesantren dan madrasah adalah pendidikan yang
berorientasi akhlak mulia. Tidak pernah terjadi tawuran antar pesantren, antar
madrasah, atau pesantren dengan madrasah, atau dengan sekolah.
Pesantren terdepan dalam mengajarkan
kesantunan. Hormat dan patuh pada guru menjadi keutamaan. Pembentukan akhlak
menjadi prioritas melalui ibadah yang intensif baik fardlu maupun sunat. Shalat
5 waktu berjamaah, membaca Al-Qur’an, puasa sunat, doa dan dzikir, shalat
tahajud, witir, dan dluha. Dari sinilah diharapkan terbentuk kelembutan jiwa
dan rasa yang kemudian melahirkan akhlak mulia. Sementara itu, ilmu pengetahuan
yang diberikan sekolah juga pesantren memberikannya lengkap dengan pengakuan
dari pemerintah. Di sinilah justru pendidikan di pesantren memiliki kelebihan.
***
Menjawab Sekulerisme di Dunia Pendidikan
Salah satu permasalahan paradigmatik pendidikan nasional
adalah sekulerisme dan dikotomi. Pendidikan Islam pun kerap tanpa sadar
terjebak pada dua sikap ini. Hal ini terbaca dalam masih adanya anggapan bahwa
selain ilmu agama tidak akan berkontribusi pada kehidupan akhirat. Juga
pemikiran bahwa pesantren hanya untuk mendidik calon ustadz dan kyai, bukan
profesi lainnya.
Persis satu tahun sebelum tahun 2000 datang, tahun yang
disimbolkan sebagai gerbang modernitas, Pak Abun sigap menjawab permasalahan
tersebut. Berdirilah di tahun 1999 itu tiga lembaga pendidikan umum: SD, SMP, dan SMA Al-Muhajirin. Tak pelak,
langkah ini banyak mengundang tanya banyak pihak. Mengapa pesantren mendirikan
lembaga pendidikan umum?
Impian 2022 itu ternyata bergerak dari sini. Al-Muhajirin
menghendaki lulusanya tidak sekadar menjadi ustad dan ulama yang tokoh agama,
tetapi tersebar ke dalam berbagai profesi penting yang dibutuhkan masyarakat.
Lulusan yang mampu mengisi dan bersaing diberbagai sektor. Lulusan yang tidak
sekadar salih karena ajaran agama, tetapi juga cerdas, terampil, dan mandiri
dengan bekal ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan. Untuk itulah
didirikan SD, SMP, dan SMA di Al-Muhajirin.
Dengan strategi ini pula, masyarakat yang masih
menomorduakan pesantren dan madrasah akan dapat mengecap pendidikan pesantren
dan madrasah dengan memilih “sekolah umum” di Al-Muhajirin. Ruh pesantren akan
tetap hidup di lembaga yang kadung disebut pendidikan umum ini, setidaknya
melalui dua hal: shalat dan membaca Al-Qur’an. Melalui dua bekal utama inilah
kualitas seorang anak terlihat, rajin membaca Al-Qur’an dan gemar menegakkan
shalat. Tanpa dua kemampuan ini tidak mungkin anak menjadi pengamal Islam yang
baik.
***
Lima Isu Pendidikan Nasional
Kepekaan terhadap isu dan permasalahan pendidikan yang
berkembang cukup menjadi pertanda dinamisnya berpikir seseorang. Bagi sebuah
lembaga, sikap awas terhadap setiap perkembangan dunia luar juga menjadi
keniscayaan. Tanpanya, peluang sulit terbaca, dan ancaman sukar dihindar. Sampai
hari ini, setidaknya ada lima isu pendidikan nasional yang terus menjadi
pembicaraan. Dimulai dari isu pendidikan karakter, ujian nasional, sertifikasi
guru, otonomi pendidikan, hingga pembiayaan pendidikan, Pak Abun memiliki pisau
analisanya sendiri.
Pendidikan karakter adalah upaya membentuk budi pekerti yang
baik dalam diri anak yang didasari dengan pendidikan iman dan takwa. Bukan
sekadar iman dalam keyakinan dan pemikiran tetapi mengaktual dalam pengamalan.
Iman, itulah kata kunci pendidikan karakter. Tanpa iman, pendidikan karakter
akan hampa dan bolong. Begitupun iman, bila tidak dibuktikan dengan tauhid sama
bolongnya. Keimanan yang menjadi pondasi terkokoh pendidikan karakter ini harus
melandaskan diri pada keyakinan Allah sebagai satu-satunya Pencipta,
Pemelihara, dan Pemilik jagat raya.Allah lah Tuhan sejati. Tak ada yang lain.
Iman yang mengakar seperti itu akan membuat pemegang
kebijakan dan setiap pendidikan sebagai pelaku utama pendidikan karakter dalam
keteguhan yang tangguh. Hanya mencukupkan diri dengan Allah. Hanya bersandar
kepada Allah. Dan inilah kecukupan paling kuat. Tanpa pondasi tauhid, program
pendidikan apapun bagaikan buih yang tanpa kekuatan apapun. Mudah hilang
tersapu angin. Seperti jarring laba-laba,
tak bisa jadi perlindungan dari serangan panas dan terjangan dingin.
Sangat lemah. Jadi jelaslah, pendidikan karakter harus dimulai dari penanaman
tauhid dalam diri anak didik. Dari tauhid itulah lahir karakter.
Pendidikan yang paripurna menghendaki keselarasan antara
tujuan tertinggi yang ditetapkan sebuah lembaga dengan mekanisme penilaian
sebagai ukuran ketercapaian. Bila tujuan tertinggi pendidikan adalah tentang
pemikiran, akhlak, dan keimanan, maka kebijakan ujian nasional sebagai
instrument evaluasi dan penilaian menjadi sangat tidak selaras. Ujian Nasional
yang melulu tentang angka-angka alias terpaku pada ranah kogitif siswa semata,
sangat bersebrangan dengan tujuan pendidikan yang justru sasarannya pada
kualitas dibelakang angka.
Demikian pada tataran filosofisnya. Belum lagi pada tataran
praksisnya yang sarat keprihatinan. Meskipun berawal dari ide baik, pelaksanaan
ujian nasional hampir menjebak dunia pendidikan pada pembohongan nasional.
Orang tua, anak, pihak sekolah, dan pemerintah daerah ada dalam pusaran
kecemasan yang sama mengenai ratusan hingga ribuan anak didik mereka, tidak
lulus ujian nasional. Siapapun dari mereka enggan memikul beban moril nan amat
berat ini. Belum lagi hilangnya kebijakan yang memberikan kesempatan kepada
siswa yang tidak lulus untuk ujian ulang pada tahun sama.
Kecemasan yang wajar ada sebab ujian nasional bukan
kebijakan sekolah yang paling tahu kelebihan dan potensi setiap siswa yang
telah dididiknya selama tiga tahun. Belasan pelajaran yang diperdalam, ratusan
jam belajar yang dijalankan, dan puluhan kompetensi yang diajarkan, dengan
ujian nasional harus rontok dalam hitungan empat sampai enam pelajaran. Harus
hancur dalam hitungan tiga sampai empat hari.
Sebagai sebuah alat evaluasi, barangkali ujian nasional tidak jadi
masalah untuk tetap ada. Tetapi tidak perlu dikaitkan dengan lulus atau
tidaknya siswa. Posisikan saja sebagai instrument pemetaan kualitas pendidikan
dengan nilai yang seutuhnya dan seadanya karena tidak dikaitkan dengan sekolah,
tetapi dengan kebijakan nasional pendidikan. Serahkan urusan kelulusan
sepenuhnya kepada sekolah. Biarkan sekolah terlepas dari beban apapun ketika
harus memberikan nilai murni kepada siswanya. Sekolah juga yang paling tahu
potensi dan kelebihan yang dimiliki anak didik yang memantaskannya berpredikat
lulus, sekalipun dengan capaian
angka-angkanya pada batas paling rendah. Bahkan dari level sekolah dasar sampai
SMA sebenarnya cukup dengan surat tanda tamat belajar seperti dulu pernah
diberlakukan. Bukan ijazah yang memaksakan kelulusan.
Bahkan bila dikaitkan dengan isu otonomi pendidikan, ujian nasional
tentu saja tak terbantahkan sebagai sebuah ketidaktepatan. Ya, otonomi
pendidikan itulah mainstream pendidikan dewasa ini. Terbatas pada
aspek-aspek pengelolaan pendidikan yang sesuai potensi dan kemampuan daerah,
otonomi pendidikan memang diperlukan. Tetapi dalam pengertian melimpahkan
seluruh wewenang pengelolaan pendidikan kepada daerah, otonomi pendidikan
justru akan menimbulkan masalah baru pendidikan nasional.
Harus diakui setidaknya sampai hari ini, SDM pendidikan di tingkat
pusat jauh lebih baik daripada daerah. Perlu kepakaran, mata analisis yang
tajam dan pengalaman yang mapan untuk mengurai setiap permasalahan pendidikan
di daerah. Pun untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang meningkatkan kualitas
pendidikan daerah, hal yang sama mutlak dibutuhkan. Ketiga hal tersebut masih
sulit didapatkan pada SDM pendidikan di daerah-daerah.
Otonomi pendidikan akan lebih tepat bila fokus pada orientasi
pendidikan yang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah. Setiap daerah
tentu saja memiliki potensinya masing-masing yang perlu digali, dikembangkan,
dan diberdayakan. Potensi ini kemudian dijadikan keungguan sejalan dengan
dinamika pendidikan di tingkat nasional dan global. Dengan cara ini, daerah akan
tertantang untuk merancang keunggulan pendidikan yang pada akhirnya menumbuhkan
tanggung jawab daerah untuk mengembangkan untuk mengembangkan pendidikan.
Otonomi pendidikan juga harus lebih pada pemberian
kewenangan sekolah dalam merancang penyelenggaran pendidikannya. Terutama bagi
swasta sebagai wujud kontribusi aktif masyarakat dalam penyelenggaran
pendidikan nasional. Anggap saja keleluasaan mengelola pendidikan untuk lembaga
swasta ini sebagai imbalan dari pemerintah. Sebagai lembaga yang lahir dari
bawah, sekolah swasta sangat perlu ruang gerak yang luas untuk mengembangkan
visi dan misinya. Apa pun kebijakan nasional pendidikan jangan sampai
membelenggu pergerakan sekolah swasta menuju visinya.
Sejauh ini, beberapa kebijakan tampaknya malah cenderung
“mengerikan” sekolah-sekolah swasta. Program-program yang tidak terlalu
prinsip, namun memaksa, seperti selalu bertambahnya jumlah mata pelajaran yang
harus diajarkan. Sekolah swasta butuh lebih dari sekadar keleluasaan dalam
pemberdayaan ekstrakurikuler. Tidak sebatas bantuan guru, gedung, dan pendanaan
yang sewajarnya jadi perhatian, namun perlu dukungan penuh sebagai apresiasi
peran sertanya dalam menyukseskan pendidikan nasional. Otonomi pendidikan pun
bukan hanya tentang wajib belajar pendidikan dasar selama 9 tahun. Tetapi,
bagaimana daerah kreatif ]mengoptimalkan pembentukan akhlak mulia \dan
keterserapan dalam dunia kerja.
***
Kualitas Guru
Guru sangat
menentukan mutu sebuah lembaga pendidikan. Bahkan guru adalah ujung tombak
peningkatan kualitas pendidikan. Dalam konteks itu, sertifikasi guru yang
menjadi kejaran dan bidikan setiap guru tentu saja program yang sangat positif.
Namun benarkah sertifikasi berkorelasi dengan mutu pengajaran guru?
Pada titik inilah kritik Pak Abun, mantan guru berprestasi
Kabupaten Purwakarta ini, mengemukakan bahwa sangat baik jika guru dituntut
menjadi seorang profesional yang dibuktikan melalui sebuah sertifikat. Namun,
jangan sekadar mengejar selembar kertas itu. Jangan pula proses mendapatkan
sertifikat ini memaksa guru untuk berburu bukti-bukti fisik yang berakibat pada
pengabaian terhadap tugas dan fungsi utamanya.
Bagian terpenting dari sertifikasi guru seharusnya pada
pembinaan profesinya. Harus diakui, masih banyak guru yang menjadi kebetulan
secara kebetulan. Bukan karena niat dan cita-cita sejak awal, melainkan karena
terpaksa keadaan. Kondisi seperti ini membuat karakter pendidik tidak menyatu
dalam diri seorang guru. Karakter inilah yang harus jadi sasaran sertifikasi
guru sehingga setiap guru benar-benar menjadi pendidik yang berkarakter kuat.
Sertifikasi guru bukan jalan tunggal pembinaan dan
peningkatan mutu guru. Sebab pada hakikatnya pembinaan guru tanggung jawab
semua, dari pemerintah pusat sampai sekolah tempat guru mengajar. Bahkan
pribadi setiap guru bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas keguruan
dirinya. Pembinaan paling mendasar adalah perihal pemaknaan profesi guru itu
sendiri.
Menjadi guru adalah amanah dan kepercayaan. Menjadi guru
adalah harga diri dan anugrah yang amat besar dari Allah SWT. Menjadi guru
berarti menebar keberkahan bagi diri, keluarga, dan bangsa. Untuk sederet
kemuliaan profesi guru ini, keikhlasan, disiplin, dan kasih sayang dalam
menjalankan profesi guru mutlak diaktualisasikan. Bukan untuk mengejar
penghargaan material, tetapi demi kesuksesan dan kegemilangan masa depan
anak-anak didiknya. Inilah kepuasan tertinggi seorang guru, sebab sedari dulu
guru adalah sebuah pengabdian tulus.
***
Biaya Pendidikan
Cukupkah lembaga pendidikan bermodalkan guru yang profesional
minus dana yang memadai? Menurut sebuah penelitian, keberhasilan pendidikan
sangat ditunjang biaya yang tinggi. Sekolah yang serba kekurangan dan serba
terbatas ternyata pencapaian keberhasilannya rendah. Dengan tesis seperti ini
realisasi anggaran 30% dari APBN dan APBD harus segera mewujud. Bukankah tidak
ada satu pun kegiatan sekolah yang tidak butuh biaya? Semua tentu perlu biaya.
Ibarat perdagangan, setelah ada modal baru berjalan. Biaya memang sangat
fundamental bagi keberlangsungan pendidikan. Itulah karenanya pembiayaan
pendidikan menjadi isu pendidikan yang tak kan selesai dibincangkan.
Terkait pembiayaan pendidikan yang sejatinya menjadi
tanggung jawab pemerintah, program-program yang telah digulirkan seperti dana
BOS, BOMM, beasiswa, dan bantuan lainnya harus mulai ditutupi titik-titik
kerawanannya.
Pertama perihal kebocoran anggaran.Kebocoran harus
semaksimal mungkin ditekan, diminimalisir, bahkan dihilangkan. Dari mulai pusat
sampai sekolah, saluran air dana pendidikan ini harus utuh dan mulus tidak
bocor setetespun. Bantuan pendidikan bukan ajang untuk memperkaya diri. Bantuan
pendidikan terlalu suci untuk dikorupsi, sebab dibaliknya masa depan jutaan
anak negeri menanti.
Kedua, sasaran bantuan. Selama ini masih terasa adanya
kecenderungan mental kapitalisme dalam penentuan penerima bantuan pendidikan.
Sekolah yang bagus makin bagus, yang kaya makin kaya, yang maju makin maju.
Sementara sekolah-sekolah dengan fasilitas yang minim dan pendanaan yang
kurang, tetap saja dalam kondisinya tanpa perubahan yang signifikan. Tak
jarang, sasaran bantuan juga diarahkan bagi sekolah-sekolah yang siap “bekerja
sama” dan memiliki “komitmen”. Demikian pula, pemilahan antara negeri dan
swasta masih kentara dan terasa. Meskipun sering diteriakan tentang disamakannnya
perlakuan, acapkali fakta berbicara lain.
Sebaliknya, sekolah yang mendapat bantuan juga harus
menunjukkan integritas. Menggunakan bantuan sesuai alokasinya dan untuk
sebesar-besarnya kemajuan pendidikan di sekolah. Tidak manipulatif. Bahkan,
sekolah semestinya kreatif mencari berbagai sumber pendanaan untuk kemajuannya,
bukan sebalikanya bantuan yang ada tidak optimal penggunaannya.
Besarnya perhatian terhadap pendidikan dengan memberikan
berbagai program bantuan pembiayaan pendidikan, tidak berarti menegasikan peran
serta masyarakat. Seperti pemahaman sekolah
gratis yang sempat menjadi polemik, adalah akibat dari sikap manja
masyarakat yang minim partisipasi terhadap kemajuan pendidikan. Sebesar apapun
bantuan pemerintah, tetap saja politis, bisa saja secara tiba-tiba bantuan
tersebut menghilang karena kebijakan penguasa yang berubah. Maka peran serta
masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan, tetap menjadi penting untuk terus
dilibatkan dan dipertahankan.
***
Wirid Sepanjang Hijrah
Berawal di keheningan malam, dengan wajah basah oleh siraman
sejuk air wudlu, ditingkahi hembusan angin di luar rumah yang menerpa setiap
dedaunan pohon. Pohon rambutan yang masih setia berdiri dan memberi kepada
santri itu seperti siap mengamini. Meluncurlah doa-doa terbaik, harapan-harapan
terindah, dan keluh kesah pada alamat yang tak salah untuk kemajuan si taman
surga bagi para pengasah pemahaman agama. Kemesraan malam yang apik terpelihara
dan merahasia bertahun-tahun tentang bagaimana kekuatan doa menjadi senjata paling
rahasia dalam membangun Al-Muhajirin.
(Doa-doa bahasa Arab)
Cercaan dan hujatan yang mewarnai perjalanan pesantren
terbesar di Purwakarta ini, terutama pada awal kelahirannya, menjadi bekal
untuk semakin larut dalam kedekatan amat dekat dengan Allah Pembolak-balik rasa
dalam sukma bila malam tiba. Selalu mengkomunikasikan Al-Muhajirin kepada
Allah, itulah yang setia Pak Abun lakukan. Komunikasi spiritual ini kemudian
membekaskan keberanian untuk membawa Al-Muhajirin ke dalam pembicaraan dengan
sebanyak mungkin orang. Dengan keluarga,
teman, pejabat, teman, keluarga, hartawan, pengusaha dan kaum intelektual,
Al-Muhajirin setia jadi tema bicara. Al-Muhajirin adalah cinta mati perjuangan
Pak Abun. Kemanapun, dimanapun, dengan siapapun, dan apapun kesibukan adalah
untuk kesuksesan Al-Muhajirin. Melalui Al-Muhajirin inilah membina umat untuk
kejayaan Islam divisikan.
Selama Al-Muhajirin membangun, Pak Abun juga tak luput
bermunajat pada Allah SWT. Setiap hari melakukannya, sepanjang malam
melakukannya. Pak Abun juga melakukan sebuah amalan dan wirid-wirid khusus yang
didapatnya dari KH Yusuf Taji, seorang ulama kharismatik dari Wanaraja Garut.
Ulama yang masih ada hubungan kerabat dengan abahnya itu memberikan dua amalan
sebelum dan sesudah tidur yang harus
dilakukan Pak Abun.
Sebelum Tidur
Menjalankan Shalat Hajat 2 Rakaat.
Rakaat pertama membaca surat Qurais sebanyak 3 kali
Rakaat kedua membaca surat Al-Maun 3 kali.
Melakukan Shalat Istikharah 2 Rakaat.
Sesudah Tidur
(Nonosoft)
***
Masih Banyak Kekurangan
Sukses, maju, dan berkembang pesat! Itu barangkali apresiasi
banyak orang tentang Al-Muhajirin. Tetapi untuk sosok yang memakmurkan
keheningan malam dengan doa-doanya itu, tidaklah demikian. Seumpama padi, makin
tinggi semakin merunduk. Seperti itu pula Pak Abun membicarakan sukses
Al-Muhajirin. Mereka yang tahu dan mengerti perjalanan Al-Muhajirin, mengerti
pula bahwa kondisi Al-Muhajirin sampai hari ini adalah wujud kesuksesan sebuah
perjuangan pendidikan Islam menuju kondisi yang ideal. Tetapi tidak demikian
dengan sosok pendirinya. Pak Abun justru melihat masih banyak kekurangan dan
ketidaksempurnaan yang harus terus ditutupi dan diperbaiki. Siapapun boleh
melabelkan sukses kepada Al-Muhajirin atau sebalikanya. Namun itu tidak akan
membuat terlena dalam rasa cukup, apalagi klaim sempurnaan. Al-Muhajirin akan
terus melaju ke depan menuju visi tertingginya. Pujian tidak akan melarutkan
dalam keterlenaan seperti juga cercaan tidak akan menyurutkan perjuangan. Maju
menatap masa depan menuju impian 10-20 tahun mendatang, bahkan lebih jauh dari
itu, itulah satu-satunya pilihan.
Siapapun yang sehati sepikir, dialah teman berjuang. Satu
visi meninggikan kalimat Allah SWT. Satu visi menggapai ridla Allah SWT. Satu
visi mencerdaskan umat, menyelamatkannya dari terpuruk dan terbelakang. Dengan
mereka yang bervisi sedemikian itulah sejak awal, sekarang, dan seterusnya ke
depan, Pak Abun berjuang. Tak peduli apapun kedudukan dan peran mereka, selama
dalam visi itu, dengan merekalah perjuangan pendidikan ini akan terus berjalan.
Tukang sapu, tukang tembok, atau apapun yang bisa mereka lakukan untuk mengawal
perjuangan, dengan merekalah suka dan duka berbagi. Terlebih lagi dengan mereka
yang memiliki ilmu dan pemikiran.
Tak sekadar
ajakan dan tawaran, keteladanan itulah yang Pak Abun jaga dengan baik. Di pagi,
siang, atau sore hari, tak ada keseganan baginya untuk memungut sampah yang
berserakan. Ketika sebanyak mungkin orang diajak untuk berkorban membesarkan
Al-Muhajirin, jauh sebelumnya pengorbanan itu telah ditunjukkan sebagai
keteladanan.Keuntungan bisnis percetakan, gaji dan pendapatan bulanan, belum
lagi keringat, tenaga dan pemikiran di siang dan malam berderet memberikan
kesaksian.Ya, keteladanan menjadi kunci sukses sebuah perjuangan.
Tak ada perjuangan tanpa rintangan. Perjalanan 19 tahun
merancang sebuah pendidikan Islam ideal yang dilakukan Pak Abun hingga hari ini
masih berakrab ri dengan rintangan. Dari yang paling ringan dan mudah
diselesaikan, sampai yang amat berat dan tak mudah dituntaskan. Dari urusan
pribadi sampai hiruk pikuk perpolitikan. Dari mulai umpatan sampai ancaman.
Dari kesalapahaman sampai yang benar-benar kebencian. Tapi, itulah fitrah
memperjuangkan kebenaran.
Bila menyerah adalah jawaban untuk semua perintang itu,
tentu tak mewujud sewujud hari ini Al-Muhajirin kini. Maka dalam kamus
perjalanan hampir 20 tahun Al-Muhajirin, Pak Abun tak pernah menyisipkan kata
menyerah. Berusaha dan fokus pada pencarian jalan keluar itulah yang dilakukan.
Bahkan dengan sangat piawai, pedih dan sedih akibat perintang berwujud segala
macam itu, tersembunyi dan merahasia nyaris tak dibagi pada siapa-siapa.
Bukan karena ada beking orang, kekayaan dan
kekuasaan, tetapi karena keyakinan pada janji Allah SWT yang telah mengilhamkan
bagaimana Al-Muhajirin dikembangkan. Janji-Nya yang amat menghibur seberat
apapun perjuangan. Janji-Nya bahwa dalam setiap satu kesulitan perjuangan, ada
dua kemudahan yang Allah hadiahkan. Janji bahwa beragam kemudahan pada saatnya
akan Allah datangkan, dari situlah kata menyerah tak pernah menjadi pelarian.
Ya, ayat إن مع العسر
يسرا فإن مع العسر يسرا
(Sesungguhnya bersama satu kesulitan ada
kemudahan. Sesungguhnya bersama satu
kesulitan itu ada kemudahan yang lain) begitu menjadi pusaka bagi Pak Abun
dalam menghadapi segala bentuk rintangan dan tantangan. Tak heran, bila saat
ada kesulitan, Pak Abun pun mengajak para santri membaca berulan-ulang
kelengkapan surat berisi janji beragam kemudahan itu.
Kepasrahan, kebersamaan, keteladanan, dan ketangguhan telah
menjadi resep-resep Pak Abun dalam menjaga konsistensi perjuangan. Demi
melestarikan kepercayaan dan rasa memiliki umat terhadap Al-Muhajirin,
keterbukaan menjadi warna bagaimana Al-Muhajirin dibesarkan. Secara
proporsional, Pak Abun memberikan kepercayaan kepada banyak pihak yang bukan
keluarganya. Secara proporsional pula banyak orang bisa tahu dari mana dan ke
mana dana dialokasikan.Keterbukaan atau open management ini dalam kadar
yang terjaga agar tidak berujung pada kebablasan. Ibarat rumah dengan banyak
kamar, ada kamar yang belum saatnya bisa dimasuki semua orang.
Selain terbuka, kyai yang sejak santri setia pada peci ini,
juga sangat menjaga kepercayaan. Sekali percaya pada orang, sepenuhnya
kepercayaan diberikan. Meskipun boleh jadi akan ada yang menyalahgunakan
kepercayaan yang diberikannya, Pak Abun tetap selalu beprasangka baik agar
hubungan tetap bersih. Aura husnudzan inilah yang dipancarkan pada semua
komponen Al-Muhajirin sebagai wasiat bahwa perjuangan harus dibangun dengan
kesucian pikiran dan ketulusan hubungan.***
Bagian Lima
Kata Mereka
Mantan Bupati Purwakarta,
H. Dedi Mulyadi, SH.
“Al-Muhajirin adalah Pilar…”
Dari aspek perjalanan
pemerintahan, setiap pemerintahan pasti memerlukan rakyat yang memiliki
kualitas, baik kualitas jasmaniah maupun kualitas ruhaniah. Nah, Al-Muhajirin
merupakan sebuah lembaga pendidikan yang mengurus pendidikan mulai dari tingkat
pra-sekolah, sekolah dasar, bahkan hingga perguruan tinggi, yang tentunya
memiliki kontribusi yang positif di dalam upaya membangun kualitas manusia itu.
Dengan demikian, keparipurnaan personal, keparipurnaan individual atau insan
kamil, itu bisa menjadi salah satu orientasi bagi pendidikan di Kabupaten
Purwakarta dan Al-Muhajirin merupakan salah satu pilar bagi pengembangan sistem
dunia pendidikan di Purwakarta, terus kemudian dunia pesantren, pendidikan
kultur, serta dunia sosial dengan adanya KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji)
Al-Muhajirin yang pengelolaannya relatif professional.
Ya, setiap lembaga, setiap organisasi, setiap kelompok
pasti memiliki kelebihan dan pasti memiliki kekurangan. Kelebihan Al-Muhajirin
adalah mampu melakukan proses adaptif terhadap apa yang menjadi trend kebutuhan
masyarakat. Misalnya begini, ketika berbicara pendidikan dasar, Al-Muhajirin
mengembangkan Sekolah Dasar, tidak membuat Madrasah Ibtidaiyah atau Madrasah
Diniyah. Artinya itu kan sebuah ijtihad yang dilakukan. Ketika misalnya trend
Sekolah Dasar lebih diminati oleh masyarakat, Al-Muhajirin cenderung untuk
mengembangkan Sekolah Dasar Plus, yang plus tersebut di dalamnya merupakan
sistem nilai pendidikan di madrasah-madrasah. Artinya kan tercapai dua-duanya.
Aspek-aspek kultur yang berbasiskan madrasah juga tercapai kemudian aspek-aspek
yang terstruktur, yang sekolah dasar,
juga ada. Nah, kecerdasan dan kecermatan terka market yang terkelola seperti Al-Muhajirin
tidak semua orang berani melakukan. Keberanian yang pertama adalah berani
berspekulasi. Keberanian yang kedua adalah berani berbeda. Nah, Al-Muhajirin
merupakan sebuah lembaga Islam yang berani berbeda dibandingkan yayasan-yayasan
Islam lainnya.
Saya sudah senang melihat Al-Muhajirin mengembangkan
Sekolah Dasar di luar
lingkungan pondok pesantren sekarang. Artinya Al-Muhajirin mencoba memahami bahwa lingkungan
sudah relatif berat untuk pengembangan sebuah lembaga pendidikan. Dan
kemungkinan bisa jadi ke depan pesantrennya juga mengambil tempat yang berbeda
sehingga orientasi-orientasi arsitektur yang hari ini sudah mulai saya sukai di
Purwakarta ini oleh Al-Muhajirin harus segera terus ditingkatkan. Arsitektur
sekolah, artisektur masjid, dan arsitektur-arsitektur lainnya juga harus mulai
ditingkatkan karena sepanjang sejarah peradaban Islam itu sangat bersinggungan
erat dengan persoalan arsitektur. Peradaban Islam di dalamnya dicerminkan oleh
arsitektur masjid dan arsitektur lainnya.
Harapan saya adalah Al-Muhajirin terus berkiprah.
Seiring dengan perubahan dinamika kehidupan masyarakat, maka rakyat
kecenderungannya boleh berubah. Namun,yang tidak boleh berubah kan akidahnya.
Dengan demikian, Al-Muhajirin memberikan tempat bagi setiap orang yang mengalami
kecenderungan untuk berubah tetapi secara akidah tidak berubah. Artinya, secara
esensial Al-Muhajirin senantiasa marketable
terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat karena pendidikan hari ini adalah
pendidikan yang juga harus membaca market.***
Hj. Zahra Haiza Azmina, M.Ag
Putri ke-2; Bendahara Yayasan, Manajer BMT
“Bapak adalah Imam bagi Keluarga dan Umat”
Saya melihat figur Bapak sebagai orang tua yang sangat
bertanggung jawab. Bapak adalah imam bagi keluarga dan umat. Perjuangan Bapak
sepertinya tidak akan berhenti, karena baginya berhenti berarti mati. Adapun
Ibu, beliau adalah ibu bagi semua. Beliau dengan sabar dan telaten telah
mengabdikan diri untuk Bapak, anak-anak dan orang lain yang membutuhkannya.
Perpaduan Bapak dan Ibu telah menjadikan Al-Muhajirin seperti sekarang. Ini tak
terlepas dari bantuan orang-orang yang Bapak percayai.
Masih
lekat dalam ingatan saat saya ketika pertama kali belajar bersama Bapak.
Lembar demi lembar kitab dipelajari. Untai kata penuh makna diresapi. Tentang
cinta Allah, para nabi, kasih para sahabat, mahabbah para sufi, dan
lainnya. Kemudian hari mulai beranjak dan tenggelam bersama senja untuk
memulainya lagi esok hari bersama sang fajar dan mentari. Semua itu berbilang
detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan tahun berlalu ditanamkan dalam jiwa,
tumbuh dalam mimpi-mimpi dan idealisme yang tinggi di awan.
Terimakasih untuk Mamah dan Bapak. untuk hati
yang senantiasa lapang dan kesabaran yang tak henti dalam perjuangan. Teriring
harap kami menjadi mutiara terindahmu dalam setiap peran yang dimainkan di
bumi. Semoga kami dapat meneladanimu untuk
mewakafkankan jiwa dan raga demi keagungan agama, mencintaimu dengan
mempersembahkan bakti dan pengorbanan di jalanNya. Semoga rahmat Allah swt
selalu menaungimu.***
Hj. Kiki Zakiyah Nuraisyah, LC
Putri ke-3, Ketua LTTQ, dan Kabid Usaha Yayasan Al-Muhajirin
“Bapak Rela Mengorbankan Apa yang Dimiliki untuk Umat”
Pesantren ini dulu memang kecil, kemudian menjadi besar.
Satu pesan bapak yang selalu beliau ucapkan kepada saya, berbuatlah untuk
Allah, berjuang untuk agama, maka dunia akan mengikuti. Jangan tergoda dunia
karena dunia akan melalaikan.
Istiqomahnya Bapak dalam membina umat membuat beliau fokus
dan rela mengorbankan apa yang beliau punya untuk kepentingan umat.***
H. Anang Nasihin, MA
Menantu, Ketua DSM, Pengasuh Asrama Putra
Bapak adalah sosok ulama kharismatik di zaman modern ini. Beliau sangat sederhana
tetapi memiliki visi yang jauh ke depan. Sangat visioner. Kajian keilmuannya
sangat luas, namun tetap sederhana dan mudah dipahami oleh semua pihak.
Tulisan-tulisannya sangat menyentuh dan akurat. Karya-karyanya bisa dipahami
dan menjadi rujukan banyak pihak.
Perjalanan hidup Bapak adalah perjalanan hidup orang-orang
sukses yang sesungguhnya. pahit getir kehidupan pada masa lalu dilaluinya
dengan kesabaran, ketulusan dan ketawadluan. Keberhasilannya hari ini adalah
bukti bahwa beliau disiapkan untuk jadi orang hebat dengan masa yang seperti
itu.
Dalam kehidupan social, beliau bisa masuk ke dalam lingkungan
apapun sehingga ruang gerak dakwah beliau tidak sempit. Semua kalangan bisa
didakwahinya dari mulai masyarakat bawah sampai para pemimpin.***
KH. Habib Hasan Syua’ib
(Ketua MUI Kabupaten Purwakarta, Ketua Majlis Pengajian
Mesjid Agung Purwakarta)
“Masyarakat Ikut Bangga Al-Muhajirin”
Saya sangat senang dengan keberadaan Al-Muhajirin.
Murid-muridnya bagus hasilnya. Terus meningkat kegiatannya. Tahun demi tahun
tempat untuk belajar terus bertambah. Apalagi sekarang sedang membangun mesjid
khusus akhwat, santri putri, yang memang sangat dibutuhkan. Berangsur-angsur
apa yang seharusnya dilakukan terpenuhi sehingga ketentraman belajar dan ritual
ibadah bisa dilaksanakan secara teratur.
Pelayanan Al-Muhajirin untuk kebutuhan masyarakat sangat
bagus dan dirintis terus. Masyarakat juga merasa bangga dengan Al-Muhajirin
kerena beberapa factor; pertama, karena terletak di tengah kota. Kedua,
Al-Muhajirin sudah mengembangkan pendidikan di kampus barunya. Insya Allah,
saya melihat Al-Muhajirin memiliki masa depan cerah.
Saya berharap kebersihan di pesantren lebih diperhatikan
seperti di tempat wudlu dan tempat buang air. Jangan sampai tercium baunya
karena kotor. Kebersihan sangat dituntut supaya santri betah. Santri harus
betah di pesantren supaya berhasil dan untuk itu masalah kebersihan dan air
sangat penting.***
DR. Burhanuddin TR
(Dosen UPI Purwakarta, Cendekiawan Muslim, Alumni KBIH
Al-Muhajirin)
“Al-Muhajirin Surprise”
Al-Muhajirin berkembang sangat pesat. Faktor pendukung yang
dimiliki membuat percepatannya sangat signifikan. Dari sejak pendirian TK
kemudian pendirian pesantren, santri yang pada mulanya hanya segelintir orang
kini telah mencapai ribuan.
Saya berharap, Al-Muhajirin ke depan harus menjadi pesantren
yang dapat ditiru pesantren lain, paling
tidak di Purwakarta, umumnya secara nasional. Dan hal ini sangat rasional
karena didukung oleh staf pengajar yang berbasis pesantren dan pendidikan
formal dari mulai S1 sampai S3. Ke depan, ada satu harapan agar Al-Muhajirin
mampu melahirkan ulama yang handal sesuai visi dan misi. Kalau sekarang salah
satu alumni sudah ada yang menjadi kiai
yang saleh, maka ke depan harus lebih banyak alumni yang dilahirkan sebagai sosok yang saleh dan menjadi teladan
bagi masyarakat. Saya yakin, selain Knowledge Oriented, Al-Muhajirin
mampu juga melakukan Attitude Oriented.
Saya tahu perjuangan Al-Muhajirin dari mulai pembebasan
tanah. Al-Muhajirin kemudian berkembang sangat
pesat. Bisa dikatakan Al-Muhajirin ini adalah surprise. Setingkat
Al-Muhajirin tidak perlu lah merasa khawatir.***
DR. Agus Muharram, M. Pd.
(Ketua ICMI Kabupaten Purwakarta,
Ketua Yayasan Yasri, dan Pemilik SMK Farmasi serta SMK
Bina Budi)
“Al-Muhajirin Yayasan Terbesar…”
Saya tahu persis perjuangan Al-Muhajirin itu merintis
dari nol. Namun, kiprahnya sangat bagus sehingga saya berani katakan bahwa
Yayasan Al-Muhajirin adalah yayasan terbesar saat ini di Purwakarta. Pengelolaan pendidikan mulai level PAUD (Pendidikan Anak
Usia Dini), SD Plus, SMP/MTs, SMA/MA hingga Sekolah Tinggi menunjukkan betapa
pasangan Hj. Euis Marfu’ah, MA, (yang tidak perlu diragukan kapabilitasnya di
bidang pendidikan) dan KH. Abun Bunyamin, MA. (yang piawai dalam berkomunikasi
dengan berbagai kalangan) membuat masyarakat yakin betul untuk mempercayakan
pendidikan anak-anaknya di Al-Muhajirin.
Saya kira ke depan Al-Muhajirin bisa
menjadi lembaga yang menasional bahkan internasional. Teruslah berbuat untuk pembinaan umat.
Ikuti terus kompetisi-kompetisi yang menggali potensi siswa serta tingkatkan
kesolidan internal. Teruslah mensejahterakan umat, terutama komunitas internal
(guru-guru dan seluruh pekerja di Yayasan Al-Muhajirin.***
Ir. Awod Abdul Gadir (Aktivis Politik)
“Al-Muhajirin Jangan Terjebak Politik”
Saya melihat Al-Muhajirin sekarang memang sudah
berkembang. Pesantren adalah salah satu unsur yang harus menjalin
sinergitas dengan pemerintahan, baik itu eksekutif maupun legislatif. Namun,
bukan berarti kemudian pesantren justru harus bergantung pada pemerintah. Kalau
pesantren sudah bergantung pada pemerintah dan senantiasa mendapat bantuan hal
ini akan menyebabkan ewuh pakewuh
sehingga nantinya amar makruf nahyi
mungkar susah ditegakkan. Ada hal yang harus diluruskan bahwa kalau
pesantren dapat bantuan itu adalah karena memang telah ada anggaran untuk itu,
bukan kemudian harus ada deal-deal
politik . Jangan sampai Al-Muhajirin terkooptasi dengan kondisi semacam itu.
Sudah seharusnya pesantren tetap fokus pada ruh religious supaya menghasilkan
lulusan yang benar-benar dapat menegakkan amar
makruf nahyi mungkar.***
Nurmala
(Eks Kepala Biro SDM PJT II dan kini menjabat selaku
Ketua Satuan Pengawas Intern PJT II,
Alumni KBIH Al-Muhajirin)
“Al-Muhajirin
Pintu Gerbang Sukses Dunia Akhirat…”
Saya kira, adanya Yayasan Al Muhajirin di Purwakarta
merupakan pintu gerbang menuju sukses dunia dan akhirat . Al-Muhajirin
telah nyata-nyata ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, umumnya, dan Purwakarta,
khususnya, dengan melaksanakan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga mendidik
level Sekolah Tinggi Agama Islam. Dengan demikian, keberadaan dari Al-Muhajirin
ini sangat bermanfaat untuk Purwakarta. Saya berharap
Al-Muhajirin dapat meningkatkan kualitasnya supaya dapat menghasilkan
lulusan yang berkualitas dan siap pakai.***
Irfan Fauzan, Lc.
(Pengusaha Muda Purwakarta)
“Identitas Al-Muhajirin sebagai pesantren jangan sampai
luntur…”
Al-Muhajirin adalah sebuah institusi yang memiliki potensi
untuk berkembang dengan sangat luar biasa. Menurut saya, penting untuk
menyiapkan regenerasi yang benar-benar siap untuk melanjutkan Al-Muhajirin.
Jangan sampai terjadi sentralistik. Saya kira Al-Muhajirin sudah mulai
melakukan hal itu. Yang pasti, identitas Al-Muhajirin sebagai pondok pesantren
harus tetap dijaga dan jangan sampai luntur.***
Drs. Wawan Suherwan, M.Pd (Kepala SMP Al-Muhajirin)
“Kebesaran Al-Muhajirin adalah buah perjuangan…”
Selaku bagian dari orang
yang mendampingi Bapak (KH. Abun Bunyamin, MA,-- Red) sejak di Aliyah
Salafiyah, saya tahu persis keinginan bapak membangun pondok
sangat besar. Diawali dari sebuah pondok kecil dengan konsep makan
terpusat (santri tidak masak sendiri tapi disediakan oleh dapur), salaf dan
pembelajaran kitab diutamakan dimulailah kegiatan. Tumpang tindihnya berbagai
kepentingan membuat saya sering mendapat
teguran dari Bapak karena terpaksa berada ditempat lain saat seharusnya
ada di sekolah.
Saya ingat bagaimana saya harus menunggu beras di
penggilingan beras agar santri bisa makan, mencari kayu bakar untuk masak.
Subhanallah, kalau tidak istiqomah saya tidak tahu bagaimana jadinya.
Oleh karena itu, keberhasilan Al-Muhajirin saat ini tak
lepas dari istiqomahnya founding father dan orang-orang kepercayaan
beliau dalam membangun Al-Muhajirin. Tidak ada keberhasilan yang diperoleh
dengan hanya membalikkan telapak tangan. Kerja keras, loyalitas, istiqomah, tawasau
bil-haq dan tawasau bissobri, menjalankan amanah dengan baik
merupakan prestasi agar mendapat reward
dari Allah. Besarnya Al-Muhajirin merupakan hadiah Allah atas perjuangan yang
tak kenal lelah.***
H. Ade Mumuh (Pengajar Kajian Kitab Salaf)
“Bapak mengorbankan hartanya untuk berjuang…”
Awal kedatangan saya ke Al-Muhajirin adalah mengantar guru
saya (KH. Khoer Afandi) meresmikan
pondok pesantren mungil di Purwakarta. Eh ternyata saya menjadi utusan dari
Manonjaya untuk mengajar kitab di Al-Muhajirin.
Subhanallah, perjuangan di Al-Muhajirin sungguh menantang.
Mulai dari gangguan lingkungan sekitar yang tidak mau ada pesantren disini
sampai, hinaan dan cemoohan terhadap Bapak (KH. Abun Bunyamin, MA) selaku tokoh
agama berlontaran. Kalau mau cerita mirip sekali seperti saat Rasulullah
menyiarkan agama Islam. Dihina adalah makanan sehari-hari kita. Namun Bapak
terus berjuang, bahkan untuk makan santri, jika tidak menunggu beras di
pengggilingan, tahu-tahu kami digembirakan oleh teh Lolom (juru masak pesantren
saat itu) yang mengatakan bahwa hari ini santri-santri bisa makan. Tadi malam
Bapak antar beras.
Kami terharu, Bapak telah mengorbankan hartanya untuk
berjuang menegakkan syiar Islam. Demi tercapainya Mukmin Muttaqin, Ulama’ul
‘Amilin dan Imamul Muttaqien. Semoga perjuangan Bapak dapat diteruskan oleh
generasi berikutnya.***
Cece Nurhikmah, M. Ag. (Kepala SD Plus Al-Muhajirin)
”Terbaik untuk Umat”
Banyak sekali hal yang
dapat dijadikan
pelajaran bermakna dalam hidup selama saya bergabung di Al-Muhajirin. Saya menemukan keselarasan tujuan lembaga ini dengan tujuan
hidup saya yaitu; khairunnas
anfa’uhum linnas (sebaik-baiknya
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya). Oleh karena itu saya berharap eksistensi Al-Muhajirin selalu ada di benak
umat Islam dikarenakan perjuangannya memberikan yang terbaik bagi kepentingan
umat.***
Hj. Olis Setiawati, S.Pd (Kepala TKA Al-Muhajirin)
Saya bersyukur telah menjadi bagian Al-Muhajirin. Kepercayaan dan kesempatan yang diberikan oleh lembaga
ini sangat berarti dan berkesan dalam perjalanan hidup saya. Saya berharap lembaga ini terus eksis dan maju, dapat
memberikan yang terbaik untuk umat, lingkungan sekitar, dan komunitas yang
tergabung di lembaga ini.***
Dewi Ratnengsih, S. Pd.I. (Kepala PAUD Al-Muhajirin)
Berjuang bersama Al-Muhajirin merupakan sebuah pengalaman
yang berkesan dalam hidup saya. Pahit getir sudah saya rasakan. Namun semua itu
terobati dengan menyaksikan Al-Muhajirin saat ini. Saya berharap Al-Muhajirin
ke depan lebih maju lagi, lebih berkualitas, kuantitasnya bertambah dengan trus
memperbaiki apa-apa yang menjadi kekurangan saat ini.***
Fathurohan S Kanday
“Al Muhajirin Mampu Merajut Pendidikan Berkualitas”
Kelas 5 SD menjadi masa tersulit. Semangat bersekolah,
gairah merangkai mimpi, dan menanam cita-cita terasa ruwet pada tahun 90-an
itu. Ekonomi sulit dan kedua orangtua yang lama tiada seolah ingin menggugurkan
masa remajaku di Purwakarta. Tapi saya tak mau dikalahkan keadaan. Pendidikan
harus jalan terus karena menjadi anak mandiri adalah kewajiban.
Meski masa kecilku dipenuhi belajar, kakek yang mengasuh
saya sejak bayi belum melihat perubahan saya dalam berprilaku dan bersikap.
Saya terlihat tidak punya cita-cita dan kebingungan menentukan masa depan. Tiba
saatnya kakek memasukan saya ke Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Al-Muhajirin di
Jalan Veteran Purwakarta.
Kali pertama masuk, TPA tak ubahnya tempat ngaji di mushola
dekat rumah dan kalah mewah dibanding madrasah tempat saya belajar sejak kelas
1 hingga kelas 5 SD. TPA Al Muhajirin saat itu masih sebuah rumah kecil. Saya,
yang pastinya angkatan pertama, bersama lima orang lainnya belajar berhimpitan
di sebuah kamar tidur. Tapi entah kenapa saya langsung jatuh hati pada cara
belajar dan metode mengajar di bawah bimbingan langsung Bapak KH Abun Bunyamin.
Saya terasa mudah menyerap ilmu agama dibanding saat menempuh pendidikan agama
di madrasah mewah yang tak jauh dari rumah. Saya betah sekali belajar di TPA
Al-Muhajirin meski harus menempuh perjalanan satu jam dari rumah menggunakan
angkutan kota.
Jenjang SD berakhir, selesai juga pendidikan saya di TPA
Al-Muhajirin. Nilai Ebtanas Murni atau NEM (sekarang hasil UASBN) sangat
memuaskan, sangat cukup masuk ke SMP favorit di Purwakarta. Saya meyakini itu
karena saya bergabung di TPA Al Muhajirin. Sebab, sejak saya belajar di 'TPA
rumahan' itu, nilai saya di SD turut terkatrol. Saya selalu dapat rangking di
kelas. Kakek pun puas yang dibuktikan dengan menghadiahi cokelat, sebuah
makanan mewah yang sangat langka saya nikmati saat itu.
Selepas SD, kakek tidak memilih memasukan saya ke SMP
favorit di Purwakarta. Dia memilih memasukan saya ke madrasah tsanwiyah.
Lagi-lagi di Al-Muhajirin, lagi-lagi angkatan pertama. Selain berstatus siswa
MTS yang saat itu dianggap sebagaian teman SD sebagai sekolah kampungan, saya
pun berstatus santri Pondok Pesantren Al-Muhajirin. Tapi entah kenapa saya
begitu menikmati hari-hari 'mondok' di Al-Muhajirin, mulai dari mengaji,
mencuci pakaian sendiri, sampai antre makan dan mandi. Menjadi santri,
kemandirian benar-benar harus terpatri dalam hati.
Selama kurun MTs itu, Al Muhajirin menapaki masa
pembangunan. Pondok pesantren yang lebih besar dibangun Bapak KH Abun Bunyamin
di Gang Kenanga. Setiap hari, seusai mengenyam pendidikan umum di MTs, kami
wajib gotong royong membangun kobong-kobong santri. Semua teman riang karena
akan punya pondok yang besarrrr...!
Tidak terasa, delapan tahun saya hidup mandiri di Al
Muhajirin: 2 tahun di TPA, 3 tahun di Mts, dan 3 tahun di madrasah aliyah.
Selama itu, Al Muhajirin mampu merajut pendidikan berkualitas bagi saya. Selama
di Al Muhajirin, saya tak pernah merasakan gap sosial atau ketimpangan hubungan
antara golongan yang kaya dan miskin atau yang terdidik dengan tidak terdidik.
Dulu saya tak pernah diperingati sedikit pun dari pihak sekolah Al Muhajirin
karena terlambat membayar SPP berbulan-bulan.
Saya merasakan Al Muhajirin telah menjadi solusi tepat
pendidikan dan pembangunan diri. Al Muhajirin telah memberi penekanan pada saya
untuk learning (belajar) daripada teaching (mengajar) sehingga saya bisa
mandiri dalam berbagai sisi hidup. Pendidikan yang berfokus pada learning
itulah yang membuat saya kreatif mengelola kehidupan dunia dan akhirat. Irama
belajar itu terus membekas saat menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta dan
kerap membekas di dunia kerja. Hingga akhirnya saya bisa menduduki kursi
direktur di sebuah penerbitan surat kabar lokal ternama di Bekasi.
Kultur yang baik selama di Al Muhajirin itu tak luput dari
kultur edukasi yang selalu mendorong siswa-siswanya mengembangkan keterampilan
dasar, keterampilan untuk berani berpikir, dan keterampilan secara individu.
Tentu peran strategis itu ada pada sejumlah guru-guru saya di sana.
Kesederhanaan yang terhormat Bapak KH Abun Bunyamin, Insya Allah selalu menjadi
cermin hidup saya. Ketegasan dan kesabaran sejumlah guru-guru di Al Muhajirin
juga selalu menjadi teladan saya dalam memimpin berbagai organisasi sosial dan
bisnis. Semoga tetap istiqomah.***
Budi Solihin, M.Ag
(Alumni Angkatan Pertama MTs, Angkatan ke-3 MA, Dosen
Ekonomi Syariah)
“Berhasil Cetak Kader”
Ketika Nabi Muhammad Saw. memobilisasi tentara untuk maju ke
front perang, dalam front tersebut, ada kelompok yang sengaja digembleng khusus
untuk benar-benar tafaqquh fiy dien
(menguasai ilmu agama secara mendalam) sehingga mereka menjadi acuan dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dan tugas meraka adalah sebagai mundzir (pengingat). Dalam perkembangannya,
proses kaderisasi kelompok mundzir
ini terus diperhatikan secara khusus. Pada masa khalifah, proses kaderisasi
diformalkan dalam bentuk madrasah. Di Indonesia, proses kaderisasi ini
diformalkan dalam bentuk pesantren, sehingga pondok pesantren menjadi lembaga
untuk mengkader kelompok mundzir
(pengingat).
Dari sinilah sejarah pesantren dimulai. Jadi, tidak benar
bahwa semangat mendirikan pesantren diambil dari budaya India atau Hindu.
Apalagi jka diingat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur laut oleh
beberapa ulama Arab sendiri. Mereka berdagang sambil berdakwah, lalu setelah
mendapatkan banyak pengikut, mereka mendirikan pesantren. Demikian seterusnya,
hingga pesantren menduduki posisi yang sangat penting dalam struktur sosial,
terutama masyarakat pedesaan.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sejak dulu
hingga saat ini berusaha menerapkan nilai-nilai islam dalam pendidikannya baik
ditinjau dari aspek ibadah maupun muamalah yang disampaikan melalui proses
pembelajaran. Tujuan proses pembelajaran ini adalah agar peserta didik (santri)
dapat mengaktualisasikan dirinya dan mampu mengamalkan nilai-nilai islam dalam
berbagai aspek kehidupan di masyarakat.
Segala potensi yang dimiliki
manusia memiliki hubungan yang kuat
dengan pendidikan, dan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
memperhatikan aspek manusianya dengan tujuan yang totalitas. Pendidikan adalah
alat yang paling ampuh untuk melakukan perubahan. Karena itu, fungsi dari
proses pembelajaran dalam pendidikan merupakan transformasi nilai-nilai
terhadap perubahan sosial masyarakat secara menyeluruh.
Transformasi nilai-nilai ini sangat
dimungkinkan mampu dilakukan oleh pesantren, karena pesantren berperan sebagai
lembaga yang mengembangkan nilai moral-spiritual, informasi, komunikasi timbal
balik secara kultural dengan masyarakatnya dan tempat pemupukan solidaritas
umat.
Eksistensi pesantren tidak akan terlepas dari peran ulama
sebagai pimpinan pesantren. Oleh karena itu, dengan sendirinya, para ulama atau
kiai yang berbasiskan pesantren menempati posisi penting pula dalam masyarakat.
Mereka dibutuhkan tidak hanya untuk mendidik dan membimbing para santri, namun
juga untuk menjalankan peran kulturalnya ditengah masyarakat. Dengan demikian,
pesantren dan ulama adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan.
Dalam konteks itulah, peran Bapak patut diperhitungkan
karena beliau merupakan sosok ulama yang berhasil membawa pesantren
Al-Muhajirin menjadi pesantren yang mampu mengkader santri menjadi mundzir dan berhasil memberi warna pada kehidupan
sosial masyarakat menjadi masyarakat yang religious. ***
H. Rosadi Alibasa
Alumni MA Angkatan ke-2; Pengusaha, Pemilik Percetakan
Shakira
Dengan kelembutan beliau dan kasih sayang dalam mendidik
membuat kita semakin baik dan dan bisa menyerap apa yang disampaikan. Seumur
hidup Saya tidak pernah menemukan beliau marah dengan suara yang keras. Tapi
seandainya pun marah selalu dengan suara yang lembut dan santun. Itulah
pendidikan penuh kasih sayang. Ketika dua orang bertengkar ataupun marah pasti
akan mengeluarkan suara tinggi meskipun berdekatan. Menunjukan betapa jauhnya
hati dan kasih sayang. Tapi seorang yang penuh kasih, akan bicara pelan dan
lembut. Bukankah sepasang kekasihpun yang sedang dilanda cinta akan berbicara
dengan berbisik. Menunjukan betapa dekatnya hati mereka. Malah dengan
pandanganpun mereka sudah mengerti.
Salah satu yang membuat saya sampai sejauh ini adalah kasih
sayangnyalah dalam mendidik saya. Meskipun saya waktu menimba ilmu di Muhajirin
sering membuat ulah tapi beliau mendidik saya dengan kasih sayang.***
Ibu Arkat (Tetangga Al-Muhajirin Yang Berjasa Besar)
“Al-Muhajirin Dapat Mengatasi Segala Bentuk Gangguan”
Saya turut senang dengan kemajuan al-Muhajirin saat ini.
Dulu, pesantren ini sering mendapat kesulitan. Mulai dari lahan, gangguan warga
dan lain sebagainya. Namun Alhamdulillah semua itu teratasi. Almarhum suami
saya selalu berpesan, jangan pernah menyesal berinfaq dijalan Allah, hidup kita
tidak akan lama. Apa yang kita dermakan akan menjadi pahala mengalir selama kita
menunggu bertemu Allah. Semoga Al-Muhajirin pun, yang kini sudah sangat besar
ini. mampu berderma bagi kepentingan
masyarakat disekitarnya.***
BERKAH PATUH PADA ORANG TUA
H. ADANG SULAIMAN
kakak kandung terdekat
Sebagai kakak, saya menghabiskan waktu kanak-kanak bersama
Pak Abun sampai usia remaja. Sekitar
usia 14 tahun waktu itu. Selepas itu, kami berpisah. Saya belajar ke
Gontor Pak Abun ke Majalengka.
Sewaktu kecil Pak Abun orangnya pendiam, jarang main, dan
penurut kepada orang tua. Sikapnya terhadap Emah dan Abah, orang tua kami,
inilah yang menonjol sejak kecil. Berbeda dengan saya dan saudara yang lain, Pa
Abun sangat taat, dan sering membantu orang tua di rumah. Bila ada permintaan
dan tidak dikasih, dia tidak ngeyel. Dalam hal waktu juga sangat
disiplin. Waktu untuk shalat, belajar, dan main sangat teratur sedemikian rupa.
Dalam pergaulan kami waktu kanak-kanak, Pa Abun sering mengalah bila ada
ketidakcocokkan. Begitu juga dengan teman sepermainan lainnya, Pa Abun lebih
memilih mengalah daripada berebut atau berantem.
Saya tahu, perjuangannya membuat pesantren dimulai dari
mengajar ngaji anak-anak kecil di rumah. Dari situ kemudian berpikir untuk
mengembangkan pendidikan ke lokasi yang lebih luas. Pa Abun sangat gigih dan
telaten berjuang. Meski tidak jarang juga mengalami kegagalan dalam menempuh
berbagai upaya membesarkan Al-Muhajirin, dia tidak mudah menyerah. Modal
utamanya adalah kesungguhan dan kegigihannya, bukan materi dan uang. Dengan
kesungguhannya ini, Pa Abun pun tak sungkan membuka hubungan yang luas dengan
berbagai pihak.
Setelah cukup sukses mengembangkan pesantren Al-Muhajirin,
Pa Abun seperti masa kecilnya dulu, sangat memperhatikan Abah dan Emah. Karena
kelebihan rezeki yang Allah karuniakan dibanding saudara yang lain, Pa Abun
bisa memberikan perhatian yang lebih kepada orang tua.
Saya kira kesuksesan Pa Abun sampai hari ini adalah berkat
keberkahan ketaatan, kepatuhan, dan akhlak baiknya kepada orang tua.***
Penuh Teror dan Ancaman Pembunuhan
Bapak Aca Rukasah dan Pa Udin
Tetangga Al-Muhajirin
Pada akhir tahun 80-an, Pa Abun membeli sebidang tanah di
Gang Kenanga II. Pada tahun itu, tanah tersebut berupa lapangan. Akan tetapi
penuh dengan pohon bambu, albasiyah, dan pohon buah-buahan. Saat itu, Pa Abun
memimpin sebuah TKA di bawah yayasan Al-Wathon. Sepuluh tahun kemudian, Pa Abun
baru membangun sebuah rumah.
Tak lama setelah itu, Pa Abun membangun sebuah bangunan
untuk Madrasah Tsanawiyah. Setelah itu ada sejumlah santri berdatangan. Tapi
tempat menginap atau kobong tidak ada. Santri terpaksa diinapkan di
rumah Pa Abun sendiri.
Rintangan mulai Pa
Abun rasakan saat berniat membangun pondok pesantren di Kebon Kolot. Bahkan,
ada sejumlah orang meneror Pa Abun agar mengurungkan niatnya membangun pondok
pesantren. Tapi, sebagian lagi ada yang mendukung, hingga rela melakukan ronda
malam untuk menjaga pesantren dan keluarga Pa Abun. Dalam cobaan dan tantangan,
Pak Abun tetap memantapkan niatnya membangun pesantren hingga mewujud seperti
sekarang.
Namun, ancaman tidak hilang begitu saja. Seorang pria yang
dikenal ‘kurang waras’, sering menenggak minuman keras, dan seorang resedivis
yang sering keluar masuk penjara kerap mengganggu lingkungan pesantren. Itu
pada awal 2000. Selain meneror santri dengan melemparkan batu ke pesantren, dia
juga sempat mengancam Pak Abun dengan senjata tajam. Pak Abun menghadapinya
dengan kesabaran. Pak Abun juga memberikan keyakinan pada santri untuk tetap
hanya meminta perlindungan ke pada Allah SWT. Terror dari seorang pria itu pun
berakhir.
Dua tahun kemudian, sebuah teror kembali datang. Asrama
putri di timur pesantren di duga kuat dibakar seorang tak dikenal. Berkat
pertolongan Allah SWT, si jago merah tak sempat menjilat seluruh bangunan
asrama.
Rasanya perjuangan beliau seperti perjuangan Rasulullah
tatkala memperjuangkan Islam. Pada akhirnya orang yang selalu meneror Al-Muhajirin meninggal dalam keadaan su’ul
khatimah. Na’idzubillahi min dzalik.***
TERUS KULIAH
Prof. DR. Hamdani Anwar, MA
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Jakarta
Saya salut, meskipun sibuk dengn berbagai kesibukan mengurus
umat seperti di MUI, BAZ, dan pesantren, Pak Abun masih menyempatkan diri dan
berhasil kuliah menuntaskan disertasinya dengan baik.***
Penuh Kesabaran
H. Deden Zaenudin
Sekretaris Pembangunan Pesantren Tahun 1991
Perkenalan saya dimulai dari berbincang-bincang masalah
agama sambal menunggu bus jemputan kujang, dilanjutkan ikut ngaji pada
Senin, Rabu dan Jumat sore bersama lima bapak yang lainnya. Kitab yang dikaji
tafsir, hadits, dan fiqih. Itu terjadi pada tahun 1986. Silaturahmi kemudian
berlanjut saat Pak Abun menjadi RW di Perum Oesman.
Saya tahu Pak Abun menjadi RW karena ada program masjid di
Perum Oesman. Pak Abun sebagai ketua di bantu dengan H. Tjanondeng (Alm) dan
rekan-rekan lainnya. Pembangunan waktu itu dibuka dengan mengundang Ust.
Jalaludin Rakhmat.
Saya mengenal Pak Abun
sebagai sosok tak putus asa. Segala sesuatu asal dengan bismillah katanya, insya
Allah terwujud. Saya juga ikut mengikuti undangan-undangan pengajian ke pelosok
kampung, sekalipun hujan mengguyur. Mungkin itu suka dukanya bagi saya dan Bapak.
Bapak juga yang merintis pertama mendirikan TK/TPA di
Purwakarta bersama Pak Irham dan Pak Afif (Alm). Dengan bismillah, toko
disulap menjadi kelas seadanya. Berkat kegigihannya dengan melibatkan koleganya
seperti Bambang Sutaryono (alm), TK/TPA
itu pun terwujud.
Hingga akhirnya Pak Abun mendirikan pesantren. Ini pun
dimulai dengan membeli tanah dan dibentuk panitia pembebasan tanah dengan jalan
mengedarkan formulir wakaf. Alhamdulillah berhasil atas kegigihan seksi
usahanya. Meski terkadang ada hambatan, tapi dapat dilaluai dengan sabar.
Pak Abun
adalah orang yang sangat toleran dalam menghadapi perbedaab madzhab. Beliau selalu
memaparkan pendapat tiap Imam madzhab dan memberi kebebasan dalam memilih. Saya
sangat merasakannya. Saya tidak pernah dilarang beliau untuk membaca buku-buku
berbeda madzhab.***
Selalu Mendapat Sambutan
Sufyan Sulaiman
Pendamping Pak Abun Tahun Pertama
PAK KH. Abun Bunyamin yang saya kenal pada tahun 1992-1997
merupakan sosok dengan kepribadian yang ulet, disiplin, pede banget, tak
mengenal kata menyerah, istiqamah, diplomatik, selalu menjungjung tinggi
silaturahmi sehingga apapun yang beliau rencanakan selalu mendapat sambutan dan
dukungan dari tokoh, terutama para Kiai. Selamat sukses Pak Abun dan pesantren
Al-Muhajirin Purwakarta.***
Efek Ibadah Dan taqarrub Pada Allah
K.R Muhammad Yasin Muthahhar
Penemu Metode Qaidati,
Pimpinan Pesantren Al-Abqary Serang.
Suatu hari saya berkunjung ke rumah beliau. Saya bermaksud
memohon doa karena saya sedang merintis sebuah pesantren. Kemudian beliau
memberi nasihat yang selalu terngiang di telinga sampai sekarang. Kata kuncinya
adalah bangun malam. Saat itu beliu berkata: “keur pantar urang mah, bisa
shalat subuh berjamaah tee kaasup kabeurangan…”. Maksudnya bagi orang yang
berkiprah dalam perjuangan Islam diantaranya dalam mengelola pesantren, bisa
shalat berjamaah subuh tapi tidak sempat shalat malam, sama dengan kesiangan.
Saya tidak banyak mengenal beliau, tetapi dari nasihatnya
saya melihat beliau adalah ahli ibadah. Karena atsar ibadah dan taqarrub
itulah beliau bisa membangun pondok pesantren terbesar di Purwakarta dan
sekitarnya. Mungkin ungkapan ini tepat bagi beliau: jika kita telah memberikan
yang terbaik untuk Allah. Maka Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita.
Semoga kita bisa meneladani perjuangan beliau.***
Diambil dari buku yang berjudul :
Hijrah Yang Mengubah
Perjuangan
KH. DR. Abun Bunyamin, MA dalam Membangun Al-Muhajirin
Edisi Revisi
Penulis
R. Marfu’
Muhyiddin Ilyas
Editor
Faturahman S
Kanday
Data dan
Dokumentasi
Firmansyah
Siti Khadijah
Kulit Muka
Godhong Teles
Tata Letak
Diterbitkan
oleh
Taqaddum
Pesantren
Al-Muhajirin
Jl. Veteran
Gg. Kenanga II Kebon Kolot
Purwakarta.*
0 Response to "Mengenal Lebih Dekat Sosok Perjuangan KH. DR. Abun Bunyamin, MA dalam Membangun Al-Muhajirin"
Posting Komentar