WARTA SUNDA ONLINÉ

BENTANG TAMU

Kedubes Oslo Ngaresmikeun Réstoran Indonésia "Boboko" di Oslo, Norwégia

Duta Besar Indonésia pikeun Norwégia, Teuku Faizasyah, sacara resmi muka réstoran Indonésia anu disebut "Boboko" di Désa VIA, sala...

CAMPALA MEDAR

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Sampurasun. Pamaos Baraya Warta Sunda. Dogdog tinggal igeul Artinya : banyak bicara (dalam pekerjaan), tapi tidak melaksanakan apa - apa). Cag. Bhaktos pun Anto Sukanto.

Mitra Medar : Menyatukan èsènsi dalam Pro dan Kontra Hajat Adat Ruwat Bumi Bag.2



Oleh : Ratna Ning

Biasanya ruwatan bumi ditandai dengan pemotongan kambing yang dihajatkan. Pada bagian ini yang kemudian menjadikan pro dan kontra di kalangan ulama dan Tetua adat. Akar masalahnya adalah pada bagian Kepala hewan yang ditanam sebagai tumbal persembahan pada bumi. Di sebagian kampung bahkan pro kontra ini menguat. Para ulama bertekad untuk meniadakan acara ruwatan ini karna disinyalir menjadi musyrik. Perdebatan perdebatan yang meruncing ini pernah saya sarikan dalam salah satu cerpen bertema "Kearifan Lokal" Ruwatan Bumi. Mendapat predikat terbaik kedua dalam lomba menulis fiksi tersebut.
     "Penguburan kepala kambing ini tidak ditujukan semata untuk persembahan pada leluhur atau dedemit. Orang orang tua jaman dulu kan awam. Mereka menggunakan penguburan kepala kambing ini dalam simbol sebagai penjaga kesuburan tanah/pupuk. Karna jaman dahulu tidak ada pupuk buatan pabrik. Sebagian besar orang dulu menyuburkan tanah dengan membuat kompos alam dari tumbuhan dan hewan yang sudah mati. Karna saripati dari hewan ini jika sudah busuk dapat menggemburkan tanah. Dalam upacara ruwatan ini disimbolkanlah penguburan kepala hewan yang ditanam/dikubur sebagai upaya untuk menjaga kesuburan tanah dalam arti keseluruhan!" Terang abah Karya yang menjadi panitia penyelenggara ruwatan bumi di kampungnya, pada suatu obrolan.
     Hal yang kemudian dipro kontrakan itu karna pada acara itu selalu ditandai dengan berdoa/merapalkan jampi dan membakar kemenyan.
     Orang tua jaman pendahulu kita melambungkan doa itu (karna keortodokskan ajaran pada jaman itu) cukuplah dengan bahasa mereka serta memakai media agar pada pemikiran mereka, doa doa mereka terhantarkan bersama wewangian kepada Hyang Agung Allah Subhanahuwataalla.
     Pengertian ini kemudian menjadi garis tengah atau menjembatani perbedaan persepsi antara ulama dan tetua adat. Beberapa ulama berkompromi untuk duduk bersama dalam melakukan doa dan memberi pengertian tentang bakar kemenyan ini dalam tanda garis besar, seperti yang disebutkan di atas.
     Perbedaan kultur dan kebersahajaan orang orang terdahulu  yang mempengaruhi pola pikir dan pola sikap. Pada intinya mengandung tujuan yang sama vertikal. Tinggalah kita yang bijaksana dalam menyikapi.

Bersambung....

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mitra Medar : Menyatukan èsènsi dalam Pro dan Kontra Hajat Adat Ruwat Bumi Bag.2"

Posting Komentar