BEAS PERELEK DI SEKOLAH - Oleh Cucu Agus Hidayat, S.Pd., M.Pd.
*BEAS PERELEK DI SEKOLAH*
(Transformasi Nilai Tradisi untuk
Pembinaan Karakter Siswa)
Oleh Cucu Agus Hidayat,
S.Pd., M.Pd.
Matahari yang sudah
keluar dari peraduannya, tampak terbit di balik puncak Gunung Bongkok yang
menyinari pucuk-pucuk pohon dengan rona mahkota dan merambat memasuki celah ranting
pepohonan. Titik-titik embun mendekap erat dedaunan. Angin semilir berdesir
lirih, seakan menyapa alam.

Kamis siang, 13.00 WIB.
Hari beranjak siang.
Matahari mulai meninggi. Guru dan perwakilan siswa bergegas menuju rumah yang
dituju. Rumah sederhana yang dirindangi pepohonan yang tumbuh di sekitarnya
cukup sepi. Angin semilir berhembus mengusap badan yang mulai kegerahan.
Kicauan burung sesekali terdengar laksana nyanyian alam dan dipadu dengan derai
ranting pohon bagaikan seruling harmoni alam. Daun pohon nyiur yang terletak di
sekitar sudut pekarangan rumah melambai yang menambah damai di hati.
Tibalah beberapa siswa
dan guru ke rumah yang dituju. Kedatangannya, tiada lain untuk menjalin kasih
dengan memberikan "beas kaheman" kepada warga sekitar. Raut bahagia
terpancar dari muka Ma Hindun, Ma Emun, Abah Gunel, dan Abah Samsudin. Dengan
mata berkaca-kaca haru dan bahagia, terpancar asa untuk menyambung hidup seisi
rumahnya. Asa yang disambung dengan welas asih dari yang merasa mampu untuk
berbagi bahagia dengan sesama yang kurang mampu.
----------------------------------------
Sebagian besar
masyarakat Indonesia bercorak masyarakat agraris. Masyarakat agraris memiliki
sistem budaya dan tradisi yang khas, baik menyangkut sistem religi, sistem mata
pencaharian, sistem pengetahuan, maupun sistem kemasyarakatan. Dalam sistem
kemasyarakatan, terdapat tata nilai yang menujukkan sifat dan perilaku sebagai
falsafah hidup yang menjungjung tinggi toleransi dan harmonisasi kehidupan
sosial. Falsafah hidup tersebut ialah _silih asah, silih asih, silih asuh,
pikeun ngawangun masyarakat gemah ripah repeh rapih, masyarakat anu cageur,
bageur, pinter, tur singer.
Dalam kehidupan agraris
masyarakat Sunda dikenal sebuah tradisi sebagai bentuk kepedulian sosial dan
rasa syukur, yaitu tradisi "beas perelek". Istilah beas perelek
sendiri muncul dari ciptarasa bahasa _onomatope,_ yaitu bunyi yang terdengar
akibat dari suara segenggam butiran beras yang dimasukan ke dalam ruas bambu.
Karena faktor bunyi auditif tersebut, selanjutnya masyarakat menyebut tradisi
itu dengan istilah "beas perelek".
Sebagian orang
beranggapan bahwa beas perelek merupakan tradisi yang mirip dengan tradisi
"seren tahun". Tradisi seren tahun dilakukan setelah panen padi dan
menyisihkan hasil panen untuk disimpan di dalam "lumbung padi"
sebagai wujud rasa syukur atas berkah dan karunia yang dianugerahkan Tuhan Yang
Maha Kuasa, serta sebagai bentuk kepedulian sosial sekaligus menjadi jaring
pengaman sosial masyarakat. Tradisi ini merupakan wujud dari sifat masyarakat
agraris yang kemudian terbentuk menjadi sebuah kesadaran kolektif.
Tradisi beas perelek
sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang sangat penting dan bermakna. Beas
perelek dapat meningkatkan kepedulian atau rasa empati, berperan serta dalam
kesejahteraan sosial, melatih rasa berbagi, menajamkan sikap kebersamaan dan
gotong royong, mewujudkan harmonisasi
sosial, dan membentuk jejaring pengaman sosial. Wujud karakter siswa yang baik
tanpa terasa dapat dibentuk melalui kegiatan beas perelek.
Internalisasi dan
transformasi nilai-nilai tradisi beas perelek penting untuk terus dibina dan
dikembangkan. Terlebih-lebih di era milenial sekarang ini yang mulai terjadi
evolusi dan difusi sosial budaya yang masif, sehingga dapat mempengaruhi sistem
kemasyarakatan. Salah satu upaya transformasi nilai tradisi tersebut ialah
melalui kegiatan beas perelek atau beas kaheman di sekolah. Transformasi
nilai-nilai tradisi tersebut di sekolah merupakan bentuk inkulturasi budaya,
yakni melatih dan membiasakan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalam budaya
setempat. Objek utama transformasi niliai tradisi ialah pembinaan kepribadian dasar, yakni
aspirasi, intuisi, sikap, keyakinan, harapan, perasaan, dan penilaian. Komponen
karakter yang terbangun dapat ditempuh melalui tahap pengetahuan, perasaan, dan
tindakan moral. Nilai religius, integritas, mandiri, nasionalis, dan gotong
royong bisa ditanamkan kepada para siswa.
Kegiatan beas perelek
atau beas kaheman di sekolah dilaksakan secara rutin setiap hari Kamis. Hari
Kamis disebut hari "Welas Asih" sebagai pelengkap hari "Nyanding
Wawangi". Pada hari tersebut, sekolah memberikan ruang untuk berekspresi
dan berbagi. Siswa yang berkategori mampu secara ekonomi, mengumpulkan
segenggam beras dalam rumpun bambu yang dibawa ke sekolah. Demikian juga para
guru dan staf tenaga administrasi sekolah. Selanjutnya, beras yang terkumpul
dibagikan kepada masyarakat yang berdomisili di sekitar sekolah yang
berkategori kurang mampu. Siklus kegiatan berlangsung secara kontinu dan merata
pada semua warga sasaran.
Esensi kegiatan beas
perelek ialah untuk membina dan menumbuhkan karakter peserta didik. Dampak dari
kegiatan tersebut sungguh besar bagi pengembangan karakter siswa, yaitu
munculnya empati, kepekaan, kepedulian, kasih sayang. Demikian pula dampak bagi
org tua siswa yang secara aktif telah membantu warga sekitar sekaligus menjadi
jaring pengaman sosial yang dibutuhkan untuk memelihara ketahanan masyarakat
dan harmonisasi kehidupan sosial.
Semoga bermanfaat.
Aamin Yaa Robbal Aalamiin.
Cucu Agus Hidayat,
S.Pd.,M.Pd.
(Kepala SMPN 3
Tegalwaru, Pengurus Komunitas Literasi Purbasari Disdik, Pengurus PGRI Kab.
Purwakarta).
0 Response to "BEAS PERELEK DI SEKOLAH - Oleh Cucu Agus Hidayat, S.Pd., M.Pd."
Posting Komentar